Perlu diperhatikan bahwa kompensasi menjadi sebuah kewajiban negara. Kewajiban negara untuk memberikan kompensasi didasarkan dari teori kegagalan untuk melindungi (Julie Goldscheid, 2004). Teori ini menyatakan bahwa seorang individu menjadi korban tindak pidana karena kegagalan negara untuk mengeliminasi atau mencegah suatu kejahatan. Hal ini bertujuan untuk memastikan adanya respon yang lebih efektif kepada korban dalam sistem peradilan pidana untuk memberikan rasa aman tersendiri bagi masyarakat dan memenuhi kewajiban negara dalam memenuhi hak warga negaranya. Hal demikian tentu berhubungan dengan munculnya restitusi. Restitusi muncul ketika gerakan terhadap hak-hak korban memunculkan stigma bahwa sistem peradilan pidana bersifat diskriminatif terhadap korban (Marcus Asner, 2013). Korban kejahatan seringkali diperlakukan secara tidak tepat dan diabaikan dalam sistem peradilan pidana yang seharusnya menyediakan dukungan, informasi dan asistensi. Adapun secara singkat restitusi bertujuan untuk mengganti kerugian korban, instrumen pencegahan bagi pelaku potensial, dan memaksa pelaku untuk mengakui segala kejahatan yang telah ia lakukan.
Di sisi lain, ketentuan mengenai hak korban hanya terdapat dalam Pasal 98 s.d. Pasal 101 KUHAP yang mengatur tentang penggabungan perkara ganti kerugian. Pasal 98 menyebutkan bahwa jika suatu perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. Penggabungan perkara ini menyesuaikan dengan asas keseimbangan yang tidak hanya mementingkan terhadap hak pelaku namun juga perlindungan hak korban. Selain itu, tujuan penggabungan perkara ini adalah tercapainya asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya murah. Maka, korban dapat mengajukan gugatan tanpa melalui gugatan perdata biasa dan menunggu perkara pidananya selesai. Namun ganti kerugian hanya didasarkan atas kerugian materiil, pengajuannya paling lambat sebelum penuntutan, upaya hukumnya tergantung pada perkara pokok, dan apabila perkara pidananya tidak banding maka gugatan ganti kerugian juga tidak bisa banding. Jika korban ingin mendapatkan ganti kerugian penuh, maka tetap harus melalui proses pemeriksaan perdata karena penggabungan dalam perkara pidana hanya terbatas pada jumlah kerugian materiil yang dialaminya sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat 2 KUHAP. Pasal tersebut sesungguhnya kontradiksi dengan isi Pasal 101 yang berbunyi, “ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian”. Sehingga, sudah seharusnya tidak perlu ada pembatasan terhadap jenis kerugian bila mengacu ketentuan hukum perdata sepanjang kerugian tersebut baik materiil maupun immateriil benar-benar sesuai dengan prinsip kausalitas sebagaimana diatur pada Pasal 1365 KUHPdt.