Urgensi Pembaharuan Pengaturan Kompensasi dan Restitusi Selaku Perlindungan Hukum bagi Korban Tindak Pidana

Dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Lalu, Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Namun, Kompensasi dan restitusi tidak dapat diberikan kepada korban jika tidak ada terdakwa yang diputus dengan pemidanaan dalam peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Padahal banyak korban yang nyata-nyata telah mengalami kerugian dalam peristiwa pelanggaran HAM yang berat terutama di masa lalu (sebelum adanya UU a quo). Contoh peristiwa Tanjung Priok, tidak disertainya ketentuan restitusi dalam amar putusan sehingga korban tidak mendapatkan ganti kerugian apapun (Mahrus Ali, 2018). Padahal, peristiwa tersebut diputus selaku pelanggaran HAM berat dan korban mengalami kerugian yang sangat berat.

Lanjutnya, Pasal 38 UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjelaskan bahwa Pelaksanaan pemberian kompensasi atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi dan restitusi. Dan putusan tersebut harus disertai dengan pemidanaan. Jika terdakwa tidak diputus dengan pemidanaan, kompensasi dan restitusi tidak dapat diberikan. Selain itu, proses pemenuhan kompensasi dan restitusi seharusnya cepat melainkan harus melewati proses permohonan dan birokrasi yang panjang. Seharusnya tidak perlu ada permohonan dari korban, cukup pengadilan memerintahkan melalui amar putusannya. Bahkan, dalam Pasal 7A UU PSK, segala bentuk ganti kerugian mengacu keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang tidak mengatur secara jelas indikator ganti kerugian yang dimaksud.