Urgensi Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Pada Sektor Privat

Oleh : Mario Agritama

(Internship Advokat Konstitusi)

Pembahasan mengenai korupsi di negeri ini hampir tidak pernah ada habisnya. Selain dapat mencederai sendi-sendi demokrasi, dampak yang ditimbulkan dari adanya korupsi juga dapat menghambat pertumbuhan pembangunan suatu negara. Salah satu jenis korupsi yang dikenal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu suap. Suap merupakan suatu tindakan pemberian uang atau menerima uang yang dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum (korporasi).

Sejauh ini, pengaturan mengenai suap dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) hanya sebatas pada korupsi yang dilakukan pada sektor publik, sedangkan korupsi pada sektor privat masih luput dari perhatian. Pengaturan mengenai suap yang dilakukan oleh sektor privat diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (UU Suap). Artinya, ketentuan suap pada sektor privat belum masuk pada ranah UU Tipikor.

Apabila dibandingkan ketentuan suap dalam UU Tipikor terhadap UU Suap, terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki pada suap sektor privat dalam UU Suap. Pertama, terkait subjek hukum yang dapat dijerat dalam UU Suap hanya terbatas pada perseorangan, sedangkan dalam UU Tipikor telah memasukan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dijerat. Kedua, terkait kewenangan lembaga yang dapat menindaklanjuti kasus suap di dalam UU Suap hanya terbatas pada kepolisian, sedangkan KPK tidak memiliki wewenang untuk masuk ke dalam UU a quo karena KPK hanya memiliki kewenangan memproses kasus dalam UU Tipikor.