Urgensi Reposisi Hak Budget DPR dalam Pengelolaan Keuangan Negara & APBN

Oleh karena itu, politik hukum yang memosisikan DPR menyetujui APBN pada unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja pada UU Keuangan Negara dan UU MD3 merupakan kekeliruan politik hukum keuangan negara yang fatal. Posisi tersebut menyebabkan DPR seakan-akan jadi otorisator sekaligus inisiator, baik dalam perencanaan maupun penganggaran. Adanya duplikasi posisi tersebut jelas tidak sehat dan tidak akuntabel dipandang dari perspektif asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Reposisi hak budget perlu dilakukan dengan melakukan perubahan mendasar pada UU Keuangan Negara dan UU MD3 dengan memosisikan hak budget sebatas menerima dan menolak RAPBN yang diajukan pemerintah dengan dua alasan. Pertama, RAPBN tidak sesuai dengan prioritas fungsi dan program yang telah direncanakan pemerintah dalam dokumen perencanaan. Kedua, RAPBN tidak memiliki alasan kemanfaatan (legitimasi) bagi kualitas penyelenggaraan pemerintahan secara umum dan pelayanan publik.

Adanya reposisi hak budget tersebut akan menghindarkan penggunaan wewenang atau mentransaksikan pengaruh DPR pada hal-hal bersifat mikroteknis atau mikropraktis. Sebab, kondisi demikian akan menyebabkan DPR berkutat pada perhitungan transaksi politis atau angka-angka anggaran dengan motivasi diluar kepentingan umum yang seharusnya dilindungi dan di luar rasionalitas dokumen perencanaan pembangunan yang ditetapkan sebelumnya. Selain itu, reposisi hak budget juga menghindari makna hak budget sebagai bentuk aktif DPR dalam siklus anggaran negara. Padahal, secara konstitusional, DPR tidak dimintakan pembahasan/persetujuan atas keseluruhan siklus anggaran, mulai dari perencanaan sampai pertanggungjawaban, tetapi dimulai saat presiden mengajukan rancangan APBN kepada DPR dan kemudian saat presiden mengajukan pertanggungjawaban anggaran.