Mengenal Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold

Oleh: Desi Fitriyani

Penggunaan parliamentary threshold dan presidential threshold sebenarnya tidak dikenal, baik dalam undang-undang pemilu legislatif maupun pemilu presiden, dan sebagainya yang ada di Indonesia. Dalam konteks negara demokrasi, threshold (ambang batas) diterapkan sebagai batas yang ditujukan untuk menyaring kandidat anggota legislatif maupun presiden yang bersifat open legal policy dan diserahkan kepada pembuat undang-undang. Threshold dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary berarti batasan tertentu untuk memulai sesuatu. (Sholahuddin Al-Fatih: 2019).

Perbedaan Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold

Konsep parliamentary threshold dan presidential threshold seakan-akan serupa, dikarenakan menggunakan kata threshold, namun dalam penggunaannya tentunya berbeda. Parliamentary threshold mengatur tentang syarat minimal perolehan suara partai politik secara nasional untuk mendapatkan kursi DPR, sedangkan presidential threshold mengatur tentang syarat minimal raihan kursi DPR atau perolehan suara pemilu DPR bagi partai politik atau koalisi partai politik agar dapat mengajukan pasangan calon presiden.

Jadi, dengan parliamentary threshold kita bicara soal aturan syarat meraih kursi DPR, dengan presidential threshold kita bicara soal aturan syarat pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Yang pertama bicara soal penetapan kursi hasil pemilu, yang kedua bicara soal pencalonan. Dengan demikian meskipun sama-sama menggunakan istilah threshold atau ambang batas namun penggunaannya berbeda. Ketentuan parliamentary threshold diatur dalam Pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Adapun ketentuan presidential threshold diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Threshold: Melanggar HAM?

Keberlakuan threshold di Indonesia tentu menuai pro dan kontra. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pihak yang mengajukan constitutional review di Mahkamah Konstitusi. Alasan utamanya adalah ketentuan threshold telah bertentangan dengan HAM, terutama hak sipil dan politik warga negara yang secara sistemik dianggap dapat dikebiri dengan diberlakukannya mekanisme threshold, karena akan banyak suara pemilih terbuang melalui mekanisme tersebut. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor 3/PUU-VII/2019 justru semakin menguatkan keberlakuan threshold, dan menyatakan bahwa penggunaan tersebut ditujukan untuk menyederhanakan partai.

Kerancuan Dalam Penggunaan Presidential Threshold

Secara akademis tidak ada konsep presidential threshold dalam pemilu presiden. Tetapi jika ingin menggunakannya, maka dasar yang digunakan adalah ketentuan pada Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD NRI 1945. Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 mengatur, bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.” Kemudian Pasal 6A ayat (4) UUD NRI 1945 menyatakan, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”

Disinilah letak kerancuannya, sebab dua ayat dalam Pasal 6A UUD NRI 1945 itu adalah formula pemilu presiden untuk menetapkan pasangan calon terpilih. Namun kemudian dalam tatanan implementasi berdasarkan aturan yang berada di bawah UUD NRI 1945, justru menjadikan pasal tersebut sebagai landasan menerapkan batasan pada “pra” pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Tentu hal tersebut telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 6A UUD NRI 1945.

Referensi

  • Sholahuddin Al-Fatih, “Akibat Hukum Regulasi tentang Threshold Dalam Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 dan Nomor 14/PUU-XI/2013”, Jurnal Yudisial, Vol 12 (1), April 2019, hlm 17-38.

()