Oleh: Wiwin Fauziyah
Mahasiswa dihebohkan lagi dengan kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pejabat mahasiswa UKM pecinta alam. Salah satu pejabat mahasiswa di kampus Semarang itu melakukan tindakan yang tidak senonoh atau melanggar asusila. Satgas PPKS kampus baru menindaklanjuti laporan pada tanggal 11 Mei 2023 padahal kejadian tersebut dari tahun 2021, sehingga korban belum mendapatkan hak perlindungan. Ketika korban meminta keadilan tidak ada yang mau membantu, namun kasusnya seakan ditutup-tutupi. Saat ini pejabat mahasiswa yang diduga melakukan pelecehan seksual malah menjadi Dewan Kehormatan di UKM yang sama.
Permendikbud Ristek telah mengeluarkan peraturan tentang penangan kekerasan seksual terhadap korban yakni Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, namun hingga saat ini hal tersebut tidak menjamin hak korban akan dipenuhi. Penanganan kasus kekerasan seksual sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dengan pihak civitas akademik dalam menangani masalah seperti ini. “Pemimpin Perguruan Tinggi wajib melakukan pemantauan dan evaluasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang dilaksanakan oleh Satgas Tugas (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual)”, demikian bunyi pasal 54 Ayat (1) Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.
Inilah salah satu contoh kasus pelecehan seksual yang susah untuk diproses dan ditindaklanjuti di Perguruan Tinggi. Menurut Dr. Hendi Pratama, Dosen Coach Transformasi Pendidikan, “Salah satu sebab tidak ditindaklanjuti permasalahan tersebut biasanya ada kongkalikong antara pelaku dengan pihak-pihak lain yang sangat kuat. Biasanya pelaku memang sudah mempunyai kuasa dan network sehingga berani melakukan hal tersebut tanpa memikirkan konsekuensi. Alasan lain yang biasanya digunakan yaitu tidak ada saksi yang melihat, bahkan korban dapat diancam dengan pencemaran nama baik”. ()