Seberapa Jauh Negara Dapat Melakukan Intervensi dalam Konten-Konten di Internet?

Oleh: Rania Fitri Nur Rizka

(Internship Advokat Konstitusi) 

Semenjak kemunculannya, internet terus berkembang sebagai tempat berkomunikasi dan penyebaran informasi yang mampu mempengaruhi banyak kehidupan masyarakat. Akses tanpa batas dari segi ruang dan waktu membuat internet menjadi alat yang efektif sebagai sarana berekspresi, sosialisasi, dan mendapatkan informasi. Sarana-sarana tersebut tersedia karena hadirnya akses yang memadai terhadap  internet  dan menjadi wujud dari pemenuhan hak atas informasi, berekspresi, serta mengemukakan pendapat. Akan tetapi akses dari internet ini juga menghasilkan dampak negatif berupa ujaran kebencian, rasisme, pornografi, pelanggaran atas privasi, dan lainnya, yang kemudian menjadi perhatian pemerintah. 

Pasca wacana revisi Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan pasalnya yang multitafsir berkaitan dengan pencemaran nama baik dinaikan pemerintah, kekhawatiran akan kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi masih belum dapat turun. Pasalnya rencana tersebut sempat dilanjut dengan kemunculan rencana lain berupa penyusunan interpretasi UU ITE oleh pemerintah, dan pengaktifan polisi virtual oleh POLRI. Agenda-agenda tersebut pasalnya semakin mengarah pada besarnya intervensi negara pada konten-konten yang ada di internet dalam hal ini media sosial. 

Baru-baru ini survei menarik yang dilakukan oleh perusahaan Microsoft dengan judul Digital Civility menunjukan pengguna internet Indonesia sebagai pengguna internet yang paling tidak sopan. Survei tersebut lantas direspon oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan rencana pembentukan Komite Etika Berinternet. Dikutip dari Antaranews, komite etika berinternet ini akan merumuskan panduan praktis mengenai penggunaan internet dan media sosial yang berlandaskan asas kejujuran, penghargaan, kebajikan, dan menghormati privasi individu. Dengan ini diharapkan literasi digital masyarakat dan kemampuan merespon informasi dapat meningkat.

Rangkaian tindakan pemerintah ini semakin menunjukan upaya pemerintah  untuk lebih konkrit mengatur kehidupan berekspresi di internet. Aktivitas-aktivitas di internet telah dianggap setara dengan aktivitas biasa. Selain memberikan pengaturan mengenai kegiatan internet seperti transaksi daring dan pendaftaran penyelenggara sistem, pemerintah juga cenderung hendak mengintervensi publikasi informasi dan bagaimana masyarakat menggunakan nya di internet. Lantas pertanyaan muncul, sejauh mana sesungguhnya negara dapat mengatur kehidupan berekspresi di internet? 

Hakikatnya negara berkewajiban untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak asasi manusia. Hak atas informasi, berekspresi, dan mengemukakan pendapat telah dijamin melalui Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28C, 28E, dan 28F. Pasal 28C memuat hak setiap orang untuk mengembangkan diri dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 28E menjamin setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat. Sementara Pasal 28F secara spesifik menjamin setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan segala jenis saluran yang tersedia. Hak-hak itu juga telah diakui dalam berbagai instrumen HAM dunia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang semakin memperkuat universalitas hak-hak tersebut. 

Persoalan mengenai intervensi negara ini lantas dapat berangkat dari pengaturan pembatasan hak asasi. Di Indonesia pengaturan ini terdapat dalam pasal 28J UUD 1945 yang mengatur bahwa pembatasan hak dilakukan melalui kriteria berupa ditetapkan undang-undang dan substansi nya yang bertujuan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Hal ini juga diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa hak dan kebebasan yang diatur undang-undang tersebut hanya dapat dibatasi berdasarkan undang-undang, untuk menjamin pengakuan dan penghormatan HAM, kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.  

Melihat pada dampak negatif dari internet yang telah disebutkan, pada dasarnya pemerintah memang dapat mengurangi penikmatan hak berekspresi dan  informasi melalui pengaturan konten dalam rangka menjamin akan keberlangsungan hak lain. Hak yang dimaksud diantaranya adalah hak atas perlindungan diri dan rasa aman dan bebas dari perlakuan diskriminatif. Hak tersebut  secara berurutan diatur dalam pasal 28G ayat (1) dan 28I ayat (2) UUD 1945. Dalam rangka menjamin hak-hak tersebut, pengaturan dalam internet pantas untuk dilakukan. Internet tidak dibangun sebagai sebuah zona bebas hukum, pengaturanya boleh dilakukan khususnya dalam rangka melindungi konsumen dan anak-anak (ELSAM : 2013). 

Selanjutnya dalam  memperhatikan bagaimana negara melakukan pengaturan dalam pengelolaan  di internet, terdapat dua hal yang perlu dilihat. Pertama, mengenai substansi pengaturan  pembatasan konten. Sejauh ini Pengaturan akan internet secara khusus berada pada Undang-Undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang No. 19 tahun 2016  tentang Informasi dan Transaksi Elektronik j.o.  Undang-Undang  No. 11 tahun 2008  Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam  UU ITE negara melakukan pembatasan berupa larangan akan distribusi informasi yang memuat kesusilaan, perjudian, pemerasan, yang mengakibatkan kerugian konsumen, yang mengandung kebencian berdasarkan SARA dan pencemaran nama baik. Pada dasarnya ketentuan tersebut berupaya untuk mengimplementasikan ketentuan pembatasan hak dalam UUD 1945 dengan definisi yang umum. Dalam rangka mencapai tujuan pembatasan hak, hendaknya ketentuan-ketentuan tersebut memiliki batasan yang spesifik dan seragam dengan ketentuan perundang-undangan yang lain. 

Kedua, mengenai  pelaku-pelaku dalam pengelolaan konten. Dilihat dari peraturan perundang-undangan yang ada, pengaturan yang ada cenderung mengarah pada pemusatan regulasi dari negara (state-centric). Dalam hal ini pemerintah ditempatkan sebagai pelaku  utama dalam regulasi, pengawasan, dan pengendalian internet. Contoh nyata pengendalian dari pemerintah langsung diantaranya adalah  pemblokiran dan penutupan akses pada berbagai situs, seperti netflix oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi. 

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyatakan, bahwa berdasarkan pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik, tata kelola konten harus dikendalikan dan diawasi oleh sebuah lembaga independen yang bebas dari kepentingan politik, ekonomi, atau pihak lainya yang tidak berwenang, tidak secara diskriminatif dan semena-mena. Yang dimaksud dalam  hal tersebut seperti, memberikan  rekomendasi  pengaturan pengelolaan yang ideal oleh negara. Kerangka hukum dengan pendekatan co-regulation berpusat pada proses yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem  internet, kehadiran lembaga independen  yang berfungsi sebagai regulator, pengawas, dan pengendali, serta materi regulasi yang memberikan ruang partisipasi bagi seluruh pemangku kepentingan. 

Selain itu, dalam tugas pengawasan dan pengendalian konten, pengambilan keputusan apakah suatu konten layak untuk diblokir harus berdasarkan pada three part test. Three part test tersebut berupa: (1) Pembatasan harus jelas diatur dalam peraturan; (2) Dilakukan untuk melindungi hak dan reputasi orang lain,  keamanan, ketertiban, dan moral publik; serta (3) Pembatasan harus dilakukan seminimal mungkin. Pengambilan keputusan juga dapat dilakukan dengan melibatkan lembaga lain seperti Komnas HAM, Komisi Informasi, dan Dewan Pers. 

Sehingga proses tata kelola konten di internet hendaknya tidak boleh dilakukan oleh pemerintah secara absolut. Selain sebagai upaya untuk membuka partisipasi masyarakat, hal ini dimaksudkan juga sebagai upaya untuk mencegah upaya pelanggaran HAM. Walaupun intervensi negara dalam pengelolaan konten di internet dimungkinkan, intervensi hanya dapat dilakukan dengan  pembatasan-pembatasan tertentu. Dengan ini hendaknya agenda-agenda pemerintah terdekat juga harus mampu meminimalisir intervensi  dan pengendalian berlebihan yang justru mengekang kebebasan berekspresi.  

Referensi : 

Wahyudi Djafar. “Policy Brief Membangun  Kelembagaan Tata Kelola Konten Internet”. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat : 2017. 

Indriaswati D. Saptaningrum, Wahyudi Djafar. “Tata Kelola Internet yang Berbasis Hak : Studi tentang Permasalahan Umum Tata Kelola Internet dan Dampaknya Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia”. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat : 2013. 

https://www.antaranews.com/berita/2018328/kominfo-bentuk-komite-etika-berinternet, diakses pada tanggal 27 Februari 2021. 

https://bisnis.tempo.co/read/1436977/survei-microsoft-sebut-warganet-ri-paling-tak-sopan-begini-respons-menkominfo/full&view=ok, diakses pada tanggal 27 Februari 2021. 

https://icjr.or.id/icjr-ingatkan-kembali-rencana-pembatasan-akses-media-sosial-jelang-sidang-perselisihan-hasil-pemilu-di-mk-tidak-tepat/, diakses pada tanggal 28 Februari 2021. 

  ()