oleh : Risa Pramiswari
Internship Advokat Konstitusi
Baru-baru ini publik digemparkan dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengenai pengesahan catatan perkawinan beda agama. Kabar ini tentunya menjadi pelipur lara pasangan berbeda agama yang ingin melangsungkan hubungannya ke jenjang serius, yaitu pernikahan. Namun, tidak semudah itu wahai para love birds di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menentang pernikahan beda agama di Indonesia. MUI berpendapat bahwa ketentuan pasal 2 ayat (1), pasal 2 ayat (2), dan pasal 8 huruf f UU Perkawinan ialah konstitusional dan sejalan dengan konstitusi. MUI menghendaki agar pengadilan membatalkan putusan mengenai pernikahan beda agama juga menegaskan bahwa pernikahan beda agama adalah haram dan tidak sah.
Dalam memberikan keterangannya, alasan hakim mengabulkan permohonan pernikahan beda agama karena UU Perkawinan tidak mengatur mengenai pernikahan beda agama. Suparno—Humas PN Surabaya menambahkan bahwa momentum ini bisa menjadi terobosan baru karena UU Perkawinan tidak mengatur secara limitatif mengenai pernikahan beda agama. Selain itu, apabila merujuk pada Pasal 35 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan justru masalah perkawinan beda agama menjadi wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutuskannya. Dalam mengabulkan permohonan tersebut, sebetulnya hakim melindungi hak asasi yang melekat dalam diri pemohon, yaitu: hak berkeluarga, hak melanjutkan keturunan, dan hak untuk memeluk agama.
Pendapat menarik datang dari Bivitri Susanti—Pakar Hukum Tata Negara, Beliau mengatakan bahwa perkawinan adalah bagian dari hak asasi manusia, negara bertugas untuk memfasilitasi agar ikatan perkawinan dapat bermanfaat secara perdata karena pada hakikatnya pernikahan adalah hubungan keperdataan antara dua orang. Ia menambahkan juga bahwa sebenarnya akar permasalahan justru terletak pada pasal multi-tafsir UU Perkawinan yang menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Ketentuan ini memicu ketidakpastian hukum mengenai pernikahan beda agama sehingga Ia merekomendasikan agar pasal ini dinyatakan inkonstitusional.
Apabila kita melirik ke negara tetangga, yaitu Singapura justru memiliki solidaritas tinggi juga menoleransi pernikahan beda agama. Singapura tidak mempermasalahkan apabila warganya melangsungkan pernikahan berbeda agama karena mereka meyakini hal tersebut adalah urusan privat yang tidak perlu dicampuri oleh negara. Bahkan, Singapura memudahkan proses administrasi melalui fasilitas layanan online kepada warga negaranya, permanent resident, juga orang asing untuk mengurus keperluan administrasi.
Kembali lagi ke permasalahan, mungkinkah Putusan PN Surabaya yang katanya merupakan “terobosan baru” dapat menjadi angin segar bagi para love birds di Indonesia? Menurut hemat penulis jawabannya bisa “iya” dan “tidak”. Jawaban “Iya”, apabila para hakim berani mengambil terobosan baru seperti apa yang telah dilakukan PN Surabaya. Selain itu, Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP) mencatat sejak tahun 2005 telah terjadi pernikahan beda agama sebanyak 1.425 pasangan. Fenomena ini bisa menjadi momentum bahwa sudah waktunya Indonesia menerima pernikahan beda agama dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang sekiranya tidak relevan dengan perkembangan zaman. Jawaban “Tidak” karena tidak semua kantor catatan sipil berkenan menerima pernikahan beda agama dan apabila melihat ketentuan Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam—khususnya pada pasal 40: “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, salah satunya seorang wanita yang tidak beragama islam.”
Berdasarkan pemaparan di atas, menurut Constituzen mungkinkah Indonesia akan mengizinkan pernikahan beda agama? ()