Gubernur Papua Lukas Enembe telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (05/09/2022). KPK menyangka Lukas Enembe menerima gratifikasi dalam proses perizinan dan juga terkait proses pengadaan barang dan jasa. Selain itu juga ada dugaan ketidakwajaran pengelolaan dan penyimpanan uang yang jumlahnya ratusan miliar.
Dikutip dari Tempo.Co, Menko Polhukam Mahfud MD pada Senin (19/9/2022) saat jumpa pers di Kantor Kemenko Polhukam menyatakan Bahwa dugaan korupsi yang dijatuhkan kepada Lukas Enembe yang kemudian menjadi tersangka bukan hanya terduga bukan hanya gratifikasi Rp 1 miliar. Ada laporan PPATK tentang dugaan korupsi atau ketidakwajaran dari penyimpanan dan pengelolaan uang yang jumlahnya ratusan miliar, ratusan miliar dalam 12 hasil analisis yang disampaikan ke KPK.
“Saya sampaikan bahwa dugaan korupsi yang dijatuhkan kepada Lukas Enembe yang kemudian menjadi tersangka, bukan hanya gratifikasi Rp 1 miliar. Ada laporan dari PPATK tentang dugaan korupsi atau ketidakwajaran penyimpanan dan pengelolaan uang yang jumlahnya ratusan miliar,” Ujar Mahfud MD
Senada dengan hal tersebut, saat jumpa pers di kantor Kemenko Polhukam, ketua PPATK Ivan Yustiavandana juga menyatakan bahwa Sejak 2017 sampai hari ini, PPATK sudah menyampaikan hasil analisis, 12 hasil analisis kepada KPK. Dalam analisa Variasi kasusnya adalah adanya setoran tunai atau ada setoran dari pihak lain. Menurut Ivan, angkanya miliaran rupiah sampai ratusan miliar rupiah.
“Sebagai contoh, salah satu hasil analisis itu adalah terkait dengan transaksi setoran tunai yang bersangkutan di kasino judi senilai 55.000.000 dolar atau Rp 560 miliar. Itu setoran tunai dilakukan dalam periode tertentu, bahkan ada dalam periode pendek, setoran tunai itu dilakukan dengan nilai fantastis, 5.000.000 dolar,” ujar Ivan
Berkaitan dengan isu kasino tersebut, pengacara lukas mengakui kliennya bermain kasino. Lukas Enembe bermain kasino di Singapura. Saat dihubungi oleh Detik.com, Aloysius mengatakan Lukas bermain kasino hanya sebagai sarana hiburan semata. “Itu kan pergi main kasino, main-main seperti kita main game gitu. Iya itu saja (sekadar main-main saja),” ujarnya
Dikutip dari CNNIndonesia.com, Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri menyebut pihaknya masih terus melakukan penyidikan untuk kasus dugaan korupsi yang menjerat Gubernur Papua. Ali menyebut KPK akan menginformasikan jadwal pemanggilan Lukas. “Kami berharap para pihak yang dipanggil oleh KPK, baik itu sebagai saksi maupun tersangka untuk kooperatif hadir memenuhi panggilan tim penyidik KPK dan dapat menyampaikan apa yang diketahuinya di hadapan tim penyidik KPK,” ujar Ali dalam keterangan video yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (20/9/2022).
KPK sebelumnya menjadwalkan pemeriksaan terhadap Lukas di Mako Brimob Polda Papua, Senin (12/9/2022) lalu. Akan tetapi, Lukas Enembe tidak memenuhi panggilan pemeriksaan dan hanya diwakili kuasa hukumnya, Stephanus Roy Rening, Aloysius Renwarin dan timnya serta juru bicara Gubernur Papua Rifai Darus.
Lukas enembe bersikukuh tidak mau meninggalkan papua usia ditetapkan sebagai tersangka. Ia beralasan karena tidak nyaman dan mengambil posisi bersama warga papua. Disisi lain, sekelompok warga Papua menginginkan Lukas Enembe tetap di Jayapura selama permasalahan berjalan.
Ancaman Hukum
Tindakan tidak memenuhi panggilan pemeriksaan KPK, dapat dikatakan sebagai upaya melakukan Obstruction of Justice melanggar KUHP Pasal 216 dengan ancaman pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Akan tetapi, perlu dikaji lebih dalam lagi terkait dengan pelanggaran obstruction of justice pada perkara ini.
Gratifikasi tidak akan dianggap suap apabila dilaporkan kepada KPK paling lambat 30 hari sejak penerimaan. Orang yang menerima atau memberi gratifikasi dapat diancam pidana sesuai dengan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
Sedangkan lebih jauh lagi jelas lagi dalam Pasal 12B ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ancaman pemidanaan gratifikasi yakni Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Selain melakukan tindak pidana gratifikasi, Lukas Enembe juga diduga melakukan pencucian uang. Perbuatan pidana pencucian uang dapat dijerat dengan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang menyatakan bahwa Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga, atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (sesuai pasal 2 ayat (1) UU ini) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena Tindak Pidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Pasal 4 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang menyatakan bahwa Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (sesuai pasal 2 ayat (1) UU ini) dipidana karena Tindak Pidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang menyatakan bahwa Setiap orang yang menerima, atau menguasai, penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (sesuai pasal 2 ayat (1) UU ini) dipidana karena Tindak Pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. ()