Oleh : Torik Wibowo
Pemilihan Kepala Desa merupakan ajang penghargaan dan pesta demokrasi masyarakat desa. Namun dalam pesta demokrasi sangat mungkin terjadi sengketa hasil termasuk dalam hal ini pemilihan kepala desa. Oleh karenanya dalam Pasal 37 ayat (5) UU No. 6 tahun 2014 diatur Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Desa diselesaikan oleh Bupati/Walikota.
Secara teknis penyelesaian perselisihan hasil Pilkades ini belum diatur bagaimana mekanismenya. Bahkan dalam PP No. 43 tahun 2014 tentang peraturan pelaksana UU no. 6 tahun 2014 yang diubah dengan PP No. 47 tahun 2015, hanya mengatur bahwa perselisihan hasil Pilkades diselesaikan oleh bupati. begitu juga dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 112 tahun 2014 tentang pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa, juga belum mengatur teknis mekanisme penyelesaian perselisihan hasil oleh Bupati. namun, dalam Pasal 49 Permendagri No. 112 tahun 2014 mengamanatkan dalam jangka waktu paling lama dua tahun, kabupaten/kota harus membentuk Perda sebagai aturan lebih lanjut tentang pelaksanaan pemilihan kepala desa.
Dari ketentuan peraturan perundang-undangan di atas dapat dipahami bahwa Penyelesaian perselisihan hasil Pilkades oleh bupati ini mekanismenya disesuaikan dengan Kabupaten/Kota masing-masing. Hal ini merupakan implementasi dari pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa pemerintah daerah dalam hal ini kabupaten/kota melaksanakan otonomi daerah. Namun terdapat tiga permasalahan. Pertama, permasalahan konseptual, Bupati/Walikota merupakan jabatan yang diisi melalui mekanisme pemilihan langsung dan dapat dipilih untuk satu periode lagi. sedangkan kepala desa juga merupakan jabatan yang memiliki basis masa karena dipilih secara langsung. oleh karenanya untu kepentingan pemilihan periode kedua, bupati dimungkinkan untuk memihak kepada calon yang berafiliasi kepadanya.
Kedua, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Moh. Nuryasin, pada saat ini sangat banyak sekali Kabupaten/Kota yang belum mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan hasil Pemilihan Kepala Desa oleh Bupati. sedangkan dalam permendagri No. 112 tahun 2015 dalam waktu dua tahun Kabupaten/kota diharuskan mengetur tentang penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa termasuk mekanisme Bupati dalam Menyelesaikan sengketa hasil pilkades. Hal ini menunjukkan bahwa minimnya tingkat kemauan daerah untuk mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan hasil Pilkades Ini. Hal ini semakin membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh Bupati dalam melaksanakan kewenangannya untuk menyelesaiakn perselisihan hasil Pilkades ini.
Ketiga, secara Konseptual Perselisihan Hasil Pemilihan Kepada desa ini merupakan sengketa kepentingan yang melibatkan dua pihak. Oleh karenanya sebagai lembaga eksekutif, Bupati/walikota tidak tepat menjadi lembaga yang menyelesaikan perselisihan hasil ini. Lembaga yang tepat dalam menyelesaiakn sengketa hasil ini adalah lebaga Yudisial melalui jalur litigasi.
Solusi terbaik untuk permasalahan ini adalah menjadikan Pengadilan Negri (PN) sebagai Lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala desa. Setidaknya ada empat alasan. Pertama, secara kelembagaan PN merupakan lembaga peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung. Ini sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945, bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahakaman Agung dan Badan Peradilan dibawahnya dan Mahkamah Konstitusi. Kedua, Perselisihan Hasil Pilkades ini bercorak perkara Kontentiosa, dimana terjadi sengketa kepentingan yang melibatkan dua pihak. Ini sangat sesuai dengan PN yang kewenangannya mengdili perkara Perdata yang memiliki corak Kontentiosa.
Ketiga, secara aksesibilitasnya PN merupakan lebaga Peradilan yang paling mudah diakses oleh masyarakat desa. Karena lokasinya yang berkedudukan di Kabupaten/Kota. Keempat, Berdasakan Pasal 5 ayat (1) UU 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, Hakim dan Hakim Konstitusi diwajibkan untuk menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. dengan perselisihan hasil Pemilihan Kepala Desa ini diselesaikan oleh Pengadilan Negeri sebagai lembaga peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman, maka keadilan masyarakat desa akan lebih terjamin dan tidak terdapat tendensi agenda politik.
Dari ketiga alasan diatas, sudah saat kita menyambut era baru penyelesaian sengketa hasil Pilkades oleh Pengadilan Negeri, yang terbebas dari kepentingan politik dan menjamin keadilan masyarakat. ()