RKUHP telah lama dicanangkan oleh para ahli hukum pidana di Indonesia. Banyak pihak yang berharap ketentuan RKUHP ini dapat menghilangkan nuansa kolonial. Namun sayangnya masih terdapat pasal-pasal yang masih memunculkan perdebatan seperti ketentuan penghinaan presiden dan ketentuan pemberitahuan demonstrasi.
Menanggapi isu tersebut, @advokatkonsitusi mengadakan webinar dengan tema “Politik Hukum RKUHP: Antara Dekolonisasi atau Neokolonisasi” yang diselenggarakan pada Sabtu, 24 September 2022 melalui media zoom meeting. Webinar ini, menghadirkan Edward OS Hiariej (Eddy) sebagai keynote speaker serta tiga orang narasumber lainya yaitu Yusuf Warsyim, Yanti Garnasih, dan Despan Heryansyah. Antusiasme masyarakat untuk menghadiri webinar ini tergambar dari jumlah pendaftar yang mencapai 1400 peserta.
Webinar ini dibuka oleh Fitrah Bukhari selaku founder @Advokatkonstitusi dengan menyampaikan “isu dekolonisasi RKUHP jarang dibahas di publik. Harapannya melalui kegiatan diskusi ini, nantinya dapat menempatkan dasar filosofis dekolonisasi serta nilai-nilai keindonesiaan dalam RKUHP yang sedang dibuat.”
Eddy selaku Wakil Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa “Sejak 1984 RKUHP sudah dirancang, namun belum juga disahkan sampai saat ini.”
“Nuansa kolonial RKUHP ada pada Buku I KUHP Indonesia dibuat pada tahun 1800 yang pada saat itu aliran klasik yang mana fokusnya keadilan retributif, yaitu hukum pidana sebagai ajang balas dendam serta menitikberatkan pada kepentingan individu dan pidana penjara sebagai pidana pokok sekaligus sebagai pidana utama yang kemudian diubah dalam buku I RKUHP yang tidak lagi berorientasi pada keadilan retributif/lex talionis yang artinya pidana sarana balas dendam. Namun kini berfokus pada Keadilan kolektif, restoratif dan rehabilitatif” sambungnya.
Menurutnya, KUHP yang berlaku saat ini tidak mengenal standar pemidanaan, sehingga dalam hal pemidanaan diberikan kewenangan penuh pada hakim. Sedangkan pada RKUHP diberikan pagar-pagar agar hakim tidak dapat sembarangan dalam memutus suatu perkara. Selain itu, dalam RKUHP pidana penjara bukan pidana utama. Hakim wajib memberikan pidana yang lebih ringan seperti pidana pengawasan dan pidana kerja sosial.
Sejalan dengan pendapat Eddy, Yenti Garnasih yang merupakan salah satu tim pembentuk RKUHP juga mengeluhkan bahwa Indonesia telah merdeka 77 tahun namun masih belum mempunyai KUHPnya sendiri.
“Indonesia harus memiliki RKUHP yang sesuai dengan living law dan semangat yang dimiliki oleh Indonesia.” tutur Yenti.
“RKUHP tidak bernuansa kolonial karena misi pembaharuan RKUHP adalah untuk menghilangkan karakter kolonial RKUHP yang secara mendasar diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda secara terstruktur, sistematis dan masif. Demokratisasi RKUHP sudah disesuaikan dengan Amandemen UUD NRI tahun 1945, juga dengan putusan-putusan MK. Karena presiden dipilih bersama-sama oleh seluruh warga negara, oleh karenanya presiden harus dilindungi dari tindak pidana penghinaan.” sambungnya.
Menurutnya, Konsolidasi adalah penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan aturan diluar KUHP (tindak pidana khusus). Selain itu, RKUHP juga sejalan dengan UU unjuk rasa yang tidak bicara tentang izin demonstrasi, namun tentang pemberitahuan. Demi kepentingan demonstrasi berjalan lancar, sehingga orang yang tidak berkepentingan dengan demonstrasi tidak terdampak. Demonstrasi yang dipidana adalah demonstrasi yang tidak diberitahukan, sehingga deliknya menjadi materiil yang harus adanya keonaran.
Yusuf Warsyim selaku Anggota Kompolnas RI menyatakan bahwa “hukum pidana merupakan peradaban bangsa Indonesia. Ketentuan KUHP yang bersifat kolonial harus dihapus karena bertentangan dengan pancasila. Kompolnas siap mengawasi penyidik nantinya dalam menjalankan RKUHP yang berdasarkan pada supremasi hukum, bukan pada kemauan atasan.”
Pembicara terakhir Despan Heryansyah juga berharap agar Indonesia memiliki KUHP sendiri. Ia menyebutkan bahwa “dalam RKUHP masih terdapat beberapa pasal bermasalah. Di dalam KUHP kita menyerahkan kemerdekaan kita, oleh karenanya apabila terdapat pelanggaran dalam proses pembuatannya seharusnya tidak terjadi. Prinsip dasar demokrasi adalah partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik.”
“Selain itu terdapat juga catatan beberapa ketentuan RKUHP. Misalnya pasal penghinaan presiden, yaitu perihal “merendahkan martabat” pasti setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda terhadap kalimat tersebut.” tutup Despan. ()