Oleh: Andreas
Surat Dakwaan memiliki kedudukan yang sangat penting dan strategis dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana di persidangan. Seringkali ditemukan juga dalam literatur-literatur hukum bahwa Surat Dakwaan, disebut juga sebagai “Mahkota Persidangan”. Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia, surat dakwaan adalah dasar hakim melakukan pemeriksaan dan hanya dalam batas-batas surat dakwaanlah hakim akan memutuskan.
Pembuatan Surat Dakwaan haruslah secara cermat dan hati-hati. Surat Dakwaan yang mengandung kesalahan dapat berakibat fatal dalam persidangan. Dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP dijelaskan bahwa Surat Dakwann diberi tanggal dan ditandatangani oleh Penunut Umum serta harus berisi:
nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a berakibat Surat Dakwaan dapat dibatalkan, sedangkan tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b berakibat Surat Dakwaan dinyatakan Batal Demi Hukum.
Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 28/PUU-XX/2022, dalam praktiknya, Surat Dakwaan yang telah dibatalkan atau dinyatakan Batal Demi Hukum oleh Pengadilan dapat diperbaiki oleh Jaksa Penuntut Umum, kemudian diajukan Kembali ke persidangan. Persoalannya adalah saat ini, tidak ada ketentuan yang mengatur berapa kali Jaksa Penuntut Umum dapat memperbaiki Surat Dakwaan yang telah dinyatakan Batal Demi Hukum.
Contoh yang paling nyata adalah Umar Husni, yang menjadi Pemohon dalam perkara Nomor 28/PUU-XX/2022 di Mahkamah Konstitusi. Umar Husni adalah Terdakwa yang telah didakwa sebanyak 3 (tiga) kali oleh Kejaksaan Negeri Purwokerto di Pengadilan Negeri Purwokerto. Terhadap ketiga dakwaan yang diterima Umar Husni tersebut, telah terdapat 6 (enam) putusan, yakni 3 (tiga) putusan Pengadilan Negeri Purwokerto yang menyatakan dakwaan batal demi hukum, dan 3 (tiga) putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Purwokerto yang menyatakan surat dakwaan batal demi hukum. Tidak menutup kemungkinan, juga akan ada Surat Dakwaan yang keempat, kelima, dan seterusnya.
Berdasarkan hal tersebutlah, Umar Husni kemudian menguji Pasal 143 ayat (3) KUHAP ke Mahkamah Konstitusi dengan alasan tidak adanya penjelasan lebih lanjut terkait dengan frasa “batal demi hukum” dalam pasal tersebut, telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Selengkapnya Pasal 143 ayat (3) berbunyi sebagai berikut:
“Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.”
Atas permohonannya tersebut, Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan yang pada intinya menyatakan bahwa terhadap Surat Dakwaan yang telah dinyatakan batal atau batal demi hukum, hanya bisa diperbaiki dan diajukan kembali satu kali lagi saja. Adapun yang menjadi amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XX/2022 adalah sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
Menyatakan frasa “batal demi hukum” dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1981, Nomor 3209), bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum yang telah dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim dapat diperbaiki dan diajukan kembali dalam persidangan sebanyak 1 (satu) kali, dan apabila masih diajukan keberatan oleh terdakwa/penasihat hukum, hakim langsung memeriksa, mempertimbangkan, dan memutusnya bersama-sama dengan materi pokok perkara dalam putusan akhir”;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Terhadap putusan tersebut, Penulis pun sependapat dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebagai Mahkota persidangan, Surat Dakwaan sudah seharusnya dibuat dengan cermat dan hati-hati sehingga memang tidak mengandung kesalahan sama sekali. Surat Dakwaan turut andil dalam menentukan nasib seseorang, apakah seseorang tersebut akan dipenjara atau tidak. Bahkan dalam beberapa kasus, surat dakwaan turut andil dalam menentukan hidup matinya seseorang (dalam perkara yang ancamannya hukuman mati).
Surat yang begitu penting ini, tentunya tidak boleh dibuat secara sembarangan dan/atau asal-asalan. Sayangnya, tidak adanya pembatasan berapa kali Surat Dakwaan bisa diperbaiki dan diajukan kembali, menimbulkan kecenderungan pembuatan Surat Dakwaan yang kurang cermat dan/atau tidak hati-hati. Dengan adanya jaminan bahwa Surat Dakwaan dapat terus diperbaiki dan diajukan kembali ke persidangan, dapat membuat Jaksa Penuntut Umum kurang memperhatikan kualitas dari Surat Dakwaan. Menurut Penulis, dengan adanya Putusan MK Nomor: 28/PUU-XX/2022, selain akan memberikan kepastian hukum kepada Terdakwa, juga akan berkontribusi dalam meningkatkan kualitas Dakwaan yang akan diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum ()