Kewenangan Penyelesaian Sengketa Pilkada Pasca Putusan MK

Oleh: Shinta Dewi Cahyani

(Internship Advokat Konstitusi)

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang lahir setelah amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945. Adapun Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Penanganan perkara pemilihan kepala daerah kembali berpolemik setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 yang hasilnya Memberikan kewenangan kepada MK untuk menyelesaikan sengketa pilkada. Lanjut lagi ketika MK mengabulkan permohonan tentang pengujian Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman terkait kewenangan MK mengadili perselisihan hasil Pilkada. Pengujian ini berakhir dengan putusan MK No. 97/PUU-XI.2013 yang mengabulkan seluruh permohonan para pemohon yang hasilnya Melepas kewenangan tersebut dari MK.

Penambahan kewenangan MK untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan memperluas makna pemilu seperti diatur Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 adalah Inkonstitusional. Pemilu menurut Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 harus dimaknai secara limitatif untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan lima tahun sekali, jika memasukkan pemilihan kepala daerah menjadi bagian dari pemilu dan menjadi kewenangan MK maka tidak sesuai dengan makna original intent dari pemilu.

Pertimbangan Original Intent

MK juga berpendapat jika memasukkan Pemilukada menjadi bagian dari pemilihan umum sehingga menjadi kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya, bukan saja tidak sesuai dengan makna original intent dari pemilihan umum. Tetapi juga akan menjadikan Pemilu tidak saja setiap lima tahun sekali, tetapi berkali-kali, karena pemiihan kepala daerah sangat banyak dilakukan dalam setiap lima tahun dengan waktu yang berbeda-beda.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Perpu No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang Seolah menjadi jawaban atas ketidakpastian lembaga manakah yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada. Pasal 159 menyatakan bahwa penyelesaian perselisihan hasil pemilihan ditangani oleh hakim adhoc di Pengadilan Tinggi yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.

Penafsiran pasal 22E UUD NRI Tahun 145 sulit mempertahankan penanganan perselisihan tetap berada di MK, mengingat wewenang dan kewajiban MK secara rinci dan limitatif diatur dalam konstitusi sehingga tidak ada lagi peluang penambahan atau pengurangan wewenang MK melalui peraturan perundang-undangan dibawah konstitusi. Putusan MK juga harus dihormati sebagai Putusan yang final dan mengikat apapun perdebatannya, apabila kewenangan ingin dikembalikan lagi ke MK, harus ada Putusan MK kembali yang menyatakan dirinya berwenang atau terlebih dahulu harus ada amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang memperjelas “gender” pemilihan kepala daerah.

Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, DPR merevisi beberapa Pasal yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Hal ini bukan berarti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tidak dapat diberlakukan lagi, hanya saja DPR mengubah beberapa ketentuan pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang tersebut. Kini, Perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional. Pasal 157 ayat (3) a quo menyatakan bahwa Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.

Sumber Referensi:

Imam Karim, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Sengketa Hasil Perhitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah, Jurnal Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

Inosesntius Samsul, Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Pasca Putusan MK, melalui Info Singkat-VI-10-II-P3DI-April-2014-6.pdf (dpr.go.id), diakses pada tanggal 19 Februari 2021

Indra Hendrawan, Penyelesaian Hasil Pemilihan Kepala Daerah Pasca Putusan MK NO.93/PUU-XI.2003, Jurnal RechtsVinding, Volume 4, Nomor 1, April 2015.

()