oleh : Diyah Ayu Riyanti
Internship Advokat Konstitusi
Lili Pintauli diadukan ke Dewan Pengawas KPK karena diduga menerima tiket menonton MotoGP Mandalika dan akomodasi hotel di tombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (3/22) .
Kasus ini berbuntut panjang hingga Lili di duga melakukan pelanggaran etik penerimaan gratifikasi. Sidang perdana etik Lili rencananya bakal digelar pada Selasa (5/7).
Namun sebelum persidangan digelar, beredar kabar Lili mengundurkan diri dari jabatannya. Dilansir dari CNNIndonesia.com, di internal KPK kabar pengunduran diri Lili sudah beredar di internal KPK sejak Kamis (30/6) kemarin. Surat pengunduran Lili disebut telah dikirimkan ke pimpinan KPK, Rabu (29/6).
ICW menyebut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar harus tetap mengikuti sidang etik meskipun telah mengajukan surat pengunduran diri dari jabatannya.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menjelaskan pemberhentian pimpinan KPK harus menunggu dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) huruf f jo ayat (4) UU 19/2019 tentang KPK.
“Selama Keppres belum dikeluarkan, maka persidangan etik harus tetap digelar oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK,” ujar Kurnia kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Sabtu (2/7).
Kurnia menilai dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Lili memiliki irisan atau kaitan dengan aspek hukum pidana yakni suap atau gratifikasi.
“Jadi, sekali pun Lili mengundurkan diri, proses hukum tidak akan berhenti,” jelas Kurnia.
Aturan Gratifikasi dan Perbuatan tercela Pimpinan KPK
Aturan mengenai gratifikasi tercantum dalam Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”.
Selanjutnya, Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK”.
Kurnia menambahkan langkah tersebut legal dan diatur dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c jo ayat (4) UU No 19 Tahun 2019 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait kewenangan Presiden untuk memberhentikan pimpinan KPK dengan alasan melakukan perbuatan tercela. ()