oleh : Sayyid Nurahaqis
Internship Advokat Konstitusi
Beberapa waktu lalu, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) akhirnya telah menyerahkan draft terbaru Rancangan Undang-Undang Kitab Undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut RUU KUHP). Namun, hingga saat ini draft tersebut terus menuai kontroversi dari berbagai kalangan masyarakat.
Sebabnya, terdapat beberapa pasal dalam RUU KUHP yang dianggap kontradiktif. Salah satunya, Pasal penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal tersebut dinilai mencederai demokrasi akibat pembatasan menyampaikan aspirasi berupa kritik yang ditujukan untuk Presiden
Bila kilas balik ke belakang, Pasal atau delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebenarnya pernah termuat dalam KUHP. Delik tersebut tercantum dalam KUHP pada Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137. Namun, pada tahun 2006 pasal-pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006. MK berpendapat Pasal-Pasal tersebut inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Setelah dianggap inkonstitusional oleh MK, ternyata Pasal penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden termuat kembali dalam RUU KUHP dengan konsep yang sedikit berbeda. Padahal dalam putusan MK telah menyatakan harus tidak lagi memuat Pasal-Pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP ke dalam RUU KUHP. Perbedaan terlihat dari delik, dalam KUHP delik penghinaan Presiden dan/atau Wakil Presiden delik biasa, sedangkan dalam RUU KUHP Pasal penghinaan Presiden dan/atau Wakil Presiden, yaitu Pasal 217, Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 delik aduan.
Alasan Pemerintah dan DPR memuat kembali Pasal penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden karena untuk melindungi harkat dan martabat seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden dan tidak menginginkan masyarakat Indonesia menjadi liberal karena kebebasan untuk mengkritik Presiden.
Bila menelaah alasan dari Pemerintah dan DPR, maka alasan tersebut dapat terbantahkan. Alasan Pemerintah dan DPR tidak terlalu kuat untuk memuat kembali Pasal penghinaan terhadap Presiden ke dalam RUU KUHP.
Misalnya, alasan untuk melindungi harkat dan martabat Presiden. Sepakat, semua manusia tidak boleh dihina hingga merendahkan harkat dan martabatnya. Tetapi perlu diketahui, dalam struktur ketatanegaraan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah jabatan politik, bukan individu dan/atau subjek hukum pidana yang dapat merasa terhina. Jikalau pemangku jabatan atau pejabat, yaitu Presiden dan/atau Wakil Presiden merasa terhina, maka pengaturan hukum yang digunakan adalah delik penghinaan pada individunya, yaitu Pasal 310 s.d. Pasal 321 KUHP dan/atau Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE.
Lebih lanjut, Pasal penghinaan dalam RUU KUHP juga berpotensi multitafsir dan bersifat subjektif karena tidak ada parameter jelas terkait apa itu penghinaan terhadap Presiden, sebab dari itu akan sulit melihat apakah suatu tindakan seseorang termasuk dalam penghinaan atau kritik. Jika nyatanya benar seseorang mengkritik, tetapi dengan adanya Pasal ini bisa saja seseorang tersebut dapat dikategorikan telah menghina. Hal inilah yang kemudian menjadikan Pasal ini rentan untuk disalahgunakan, sebab rumusan norma tidak jelas dan dalam penerapannya berpotensi merugikan hak-hak seseorang dalam menyampaikan pendapat dalam bentuk kritik.
Selanjutnya, alasan liberal. Sepertinya Pemerintah dan DPR menganggap kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah bentuk sebuah paham nilai-nilai liberal, padahal kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah bentuk hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi oleh hukum. Dasar hukumnya, jelas termuat dalam Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
MK sendiri kala itu juga dalam putusannya berpendapat bahwa Pasal penghinaan terhadap Presiden berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi. Artinya, MK selaku lembaga penafsir akhir UUD NRI Tahun 1945 juga telah menjamin setiap orang bebas untuk berekspresi dan berpendapat selama tidak melanggar kewajiban untuk menghargai kehormatan dan harkat dan martabat manusia.
Alasan Pemerintah dan DPR telah terbantahkan, artinya Pemerintah dan DPR tidak memiliki alasan kuat untuk memuat kembali Pasal penghinaan terhadap Presiden ke RUU KUHP. Selain itu, dalam perspektif hukum pada Pasal 10 Ayat (1) huruf d UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa salah satu materi muatan Undang-Undang adalah tindak lanjut dari putusan MK. Implikasi dari putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dengan konsekuensi hukumnya adalah Pemerintah dan DPR harus menindaklanjuti putusan tersebut dengan tidak memuat kembali Pasal penghinaan Presiden ke dalam RUU KUHP.
Rencananya pada bulan Juli ini dan/atau secepatnya Pemerintah dan DPR akan segera mengesahkan RUU KUHP, sulit mengharapkan Pemerintah dan DPR untuk merevisi draft RUU KUHP kemudian mencabut Pasal penghinaan terhadap Presiden karena Pemerintah dan DPR sampai saat ini tetap bersikukuh untuk mempertahankan Pasal tersebut. Satu-satunya cara untuk mencabut Pasal tersebut adalah dengan menunggu saja RUU KUHP itu resmi disahkan dan lanjut masyarakat melakukan permohonan Judicial Review ke MK untuk membatalkan atau mencabut Pasal 217, Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 RUU KUHP. ()