MUI Minta DPR Memasukkan Praktik LGBT Sebagai Tindak Pidana

Oleh: Nina Septa Putri

(Internship Advokat Konstitusi)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam menggelar Halaqah di tingkat pusat pada Selasa (31/5) untuk membahas maraknya dukungan terhadap perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia.

Dalam Halaqah tersebut MUI dan ormas-ormas Islam di Indonesia satu suara dalam menyikapi masalah LGBT. “Peserta Halaqah menyepakati bahwa LGBT sangat dilarang oleh agama Islam,” kata Ketua MUI bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis dalam keterangan yang diterima wartawan, Rabu (1/6).

Pria yang akrab disapa Kiai Cholil dalam keterangannya memaparkan, bahwa Islam melarang keras perilaku LGBT seperti termaktub dalam Surat Al-A’raf ayat 80-84. Dia menjelaskan dalam ajaran Islam, Allah SWT menciptakan manusia dan makhluk hidup untuk berpasang-pasangan serta mengatur tentang kecenderungan orientasi seksual yang didasarkan pada pasangannya.

“Allah SWT melalui Al-Qur’an telah melarang hubungan seksual sesama jenis (homoseksual) dan mensifatinya sebagai perbuatan fahisyah (amat keji), berlebih-lebihan, dan melampaui batas,” ucapnya.

Dalam Halaqah tersebut, lanjut Kiai Cholil, para peserta mendesak pemerintah untuk segera mengambil sikap terkait dukungan terhadap perilaku LGBT yang banyak dilakukan oleh organisasi internasional atau perusahaan internasional, serta LSM asing maupun LSM nasional di Indonesia.

Dia menegaskan, praktik LGBT bertentangan dengan kaidah hukum yang ada di Indonesia. Peserta halaqah pun mendorong agar perilaku berhubungan seksual sesama jenis itu diatur dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). 

Adapun pandangan MUI terkait RKUHP, yaitu menyorot pembahasan mengenai pasal perzinaan. Dalam KUHP, zina hanya untuk orang yang sudah mempunyai pasangan suami istri. MUI meminta agar perzinaan itu diberlakukan untuk semua hubungan suami istri di luar pernikahan.

Sedangkan untuk LGBT, MUI tidak setuju tentang LGBT pada pasal 495 ayat 2 yang disebutkan hanya diberlakukan untuk usia dibawah 18 tahun. MUI menilai hal ini seharusnya diberlakukan untuk semua usia.

“Peserta Halaqah juga mendorong agar Pemerintah dan DPR memasukkan perilaku homoseksual secara umum sebagai perbuatan pidana dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana,” katanya. “Peserta Halaqah juga menyepakati bahwa ditinjau dari dasar negara dan peraturan perundang-undangan, perkawinan sesama jenis sebagaimana diinginkan komunitas LGBT merupakan bertentangan dengan dasar negara Pancasila, UUD 1945, dan UU Perkawinan,” tambah Cholil.

LGBT jelas bertentangan dengan konstitusi, tepatnya pada Pasal 28B terkait membuat keturunan. Hal ini dikarenakan LGBT tidak akan mementingkan keturunan.

Perlu diketahui, bahwa DPR RI pun telah menyiapkan perumusan tentang pidana LGBT dalam RUU KUHP (detik.com, 18/12/2017). Kembali mengenai LGBT, sudah sepatutnya tindakan LGBT dikualifikasikan sebagai suatu delik (tindak pidana) karena dapat merusak moral bangsa Indonesia. Apalagi dalam Seminar Nasional Rekodifikasi Dan Adaptasi Unsur-Unsur Lokal 

Mengingat pentingnya diatur pidana untuk LGBT, maka Pemerintah sebaiknya mengatur perubahan klausul pada Pasal 292 KUHP yang terkait perbuatan cabul sesama jenis ke dalam Undang-Undang sebagaimana hal pernah dilakukan dalam pemerintahan Presiden Habibie dalam melakukan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Ini merupakan alternatif pengaturan sanksi pidana bagi LGBT sebelum diatur kemudian hari di RUU KUHP.

Oleh karena pentingnya pidana terhadap LGBT ini, maka pemerintah harus mengambil langkah cepat dalam membuat pengaturan pidana atas delik tersebut tanpa harus menunggu disahkannya KUHP yang baru sehingga moral dan budaya bangsa ini tetap terlindungi melalui norma hukum sesuai dengan prinsip negara hukum.

Lebih lanjut, MUI sendiri telah mengeluarkan Fatwa No. 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan. Dalam fatwa ini dinyatakan bahwa homoseksual, baik lesbian maupun gay hukumnya haram, dan merupakan bentuk kejahatan (jarimah).

Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash. Sementara Ta’zir, adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri atau pihak yang berwenang menetapkan hukuman.

Pada korban dari kejahatan tersebut, para pelakunya harus dikenakan pemberatan hukuman hingga hukuman mati. Lebih lanjut, dalam fatwa tersebut menegaskan bahwa melegalkan aktivitas seksual sesama jenis dan orientasi seksual menyimpang lainnya adalah haram.

Untuk itu, dalam fatwa tersebut juga memberikan rekomendasi untuk menangani hal ini sebagaimana berikut:

Pertama, meminta Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR dan pemerintah untuk segera menyusun peraturan perundang-undangan untuk tidak melegalkan keberadaan komunitas homoseksual, baik lesbi maupun gay, serta komunitas lain yang memiliki orientasi seksual menyimpang. “Hukuman berat terhadap pelaku sodomi, lesbi, gay, serta aktivitas seks menyimpang lainnya yang dapat berfungsi sebagai zawazir dan mawani,” kata fatwa tersebut.

Dijelaskan dalam fatwa tersebut, arti dari zawazir dan mawani ini untuk membuat pelaku menjadi jera. Selain itu, orang yang belum melakukannya menjadi takut untuk melakukannya. DPR dan pemerintah diharapkan memasukkan aktivitas seksual menyimpang ini sebagai delik umum dan merupakan kejahatan yang menodai martabat luhur manusia. “Melakukan pencegahan terhadap berkembangnya aktivitas seksual menyimpang di tengah masyarakat dengan sosialisasi dan rehabilitasi,” ujar fatwa tersebut.

Kedua, dalam fatwa tersebut juga merekomendasikan untuk meminta pemerintah, secara wajib mencegah meluasnya penyimpangan orientasi seksual di masyarakat dengan melakukan layanan rehabilitasi bagi para pelaku. “Disertai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas,” lanjut dari point kedua rekomendasi dalam fatwa tersebut.

Ketiga, MUI meminta pemerintah secara tegas untuk tidak boleh mengakui pernikahan sesama jenis. Terakhir dalam point keempat, pemerintah dan masyarakat diminta untuk tidak membiarkan keberadaan aktivitas homoseksual, dan orientasi seksual menyimpang ini untuk hidup dan berkembang di tengah masyarakat. ()