Polisi Virtual : Perlindungan atau Ancaman Kebebasan Berpendapat


Oleh : Amalia Syarifah 

Internship Advokat Konstitusi

Pemanfaatan teknologi informasi yang paling mendominasi ialah penggunaan sosial media sebagai penghubung antar manusia dalam memenuhi kebutuhan berkomunikasi. Seiring keterbatasan ruang gerak di luar rumah, sosial media kerap kali menjadi media untuk mengungkapkan aspirasi dan ekspresinya yang dapat menjadi pusat segala informasi. Hal ini dilakukan masyarakat karena mereka merasa telah dilindungi oleh Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 dan dalam Pasal 22 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Namun kebebasan tersebut tidak selamanya mampu memberikan perlindungan bagi masyarakat atas segala aspirasinya melalui media sosial yang lebih mudah diakses dan efektif digunakan.

Kemudahan penggunaan sosial media sebagai wadah aspirasi dapat mengancam adanya celah kejahatan bidang teknologi dibuktikan dengan laporan yang dibuat oleh Badan Siber dan Sandi Negara dimana kejahatan siber meningkat empat kali lipat di masa pandemi. (Salsabila, 2020) Kejahatan siber yang sangat melekat di kehidupan masyarakat ialah ujaran kebencian atau hate speech, penyampaian berita bohong (hoax), sampai pada aspirasi kritik yang tidak sesuai pada keberlakuan norma hukum di Indonesia.

Hal ini menimbulkan berbagai problematika sejauh mana kebebasan mengungkapkan aspirasi masyarakat dapat dilindungi seiring dengan kejahatan siber yang semakin tidak terkendali. Salah satu kasus yang melibatkan kejahtaan siber untuk membungkam kebebasan berpendapat yakni peretasan akun twitter pribadi milik Panduriono seorang Epidemiologi Universitas Indonesia.

Panduriono mengutrakan kritikannya secara lantang di akun sosial medianya terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani wabah Covid-19. Serangan di ruang siber seperti ini merupakan upaya pembungkaman aspirasi masyarakat yang seharusnya dilindungi di dalam negara berdemokrasi. Tidak hanya kasus tersebut, terdapat berbagai penyalahgunaan teknologi informasi untuk berusaha membatasi ruang kebebasan berekspresi masyarakat di sosial media.

Berangkat dari berbagai persoalan kejahatan siber ini maka di awal tahun 2021 terbentuklah polisi virtual atau virtual police yang hadir di tengah perkembangan teknologi informasi. Kehadiran polisi virtual ini merespon maraknya tindak pidana terkait UU No. 11 tahun 2008 sebagaimana diubah dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di ruang digital, termasuk kejahatan siber di dalamnya.

Polisi virtual telah dibentuk mengacu pada Surat Edaran Kapolri No. 2/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif yang menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Polri, Kombes Ahmad Ramadhan mengutarakan tugas polisi virtual ialah untuk memantau aktivitas di media sosial hingga memperingatkan suatu unggahan atau konten berpotensi melanggar UU ITE.

Kepentingan lain pembentukan polisi virtual di Indonesia ialah sebagai upaya edukasi dan langkah persuasif kepada masyarakat dalam penyampaian pendapat agar terhindar dari dugaan kriminalisasi pelanggaran pidana. Polisi virtual telah terintegrasi oleh lembaga BSSN maupun Kominfo yang dijalankan oleh Direktorat Tindak Pidana Bareskim POLRI.

Kedudukan polisi virtual di ranah digital seharusnya tidak mengganggu hak demokrasi masyarakat. Sebab jaminan kebebasan berpendapat telah termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 maupun dalam UU HAM. Seyogyanya kehadiran polisi virtual mampu memberikan pencegahan ketidakpastian penyebaran segaa informasi yang tersebar di internet terutama media sosial seperti fenomena berita hoax dan ujaran kebencian.Polisi virtual pada dasarnya digunakan sebagai upaya pencegahan, bukan mengarah pada tindak kriminalisasi atau pemidanaan. Namun terdapat beberapa hal lain yang perlu dikaji kembali mengenai kehadiran polisi virtual yang menyinggung kebebasan berkespresi dan berpendapat.

Urgensi adanya polisi virtual merupakan wujud dari pelaksanaan Pasal 28J UUD 1945. Di sisi lain, pasal ini memiliki kesamaan konteks pembatasan dalam hak kebebasan berekspresi dan berpendapat yang terdapat pada intrumen hukum internasional. Seseorang dalam mengekspresikan pendapatnya wajib tunduk terhadap pembatasan yang berlaku dalam undang-undang maupun hukum internasional. Ketentuan tersebut terdapat dalam Article 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menyatakan bahwa kebebasan berekspresi tidaklah mutlak sehingga sebebas-bebasnya kebebasan berekspresi tetap memperhatikan batasan yang ada.

Selanjutnya dikuatkan dalam Article 19.3 dan Article 20.2 dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) bahwa kebebasan berpendapat pun tetap berlandaskan pada pertanggungjawaban dan dibatasi oleh keberlakuan hukum yaitu untuk tetap menghormati hak dan reputasi orang lain. Batasan atas kebebasan berekspresi bertujuan untuk mencegah aspirasi yang mengandung propaganda atau ujaran kebencian.

Apabila memperhatikan pembatasan kebebasan berpendapat, polisi virtual agar mampu memahami sejauh mana aspirasi yang diungkapkan masyarakat menimbulkan berbagai ancaman kesatuan bangsa seperti penyebaran hoaks yang menyebabkan perpecahan antar kelompok. Kehadiran polisi virtual wajib disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak dijadikan ketakutan untuk menegakkan hak kebebasan berpendapat di sosial media.

Selama tidak melewati batas mengganggu kepentingan kelompok atau orang lain, polisi virtual tidak ikut campur dengan hak aspirasi masyarakat dan membebaskan mereka mengungkapkan kritikan yang tidak mengandung unsur propaganda. Keharusan hadirnya polisi virtual sudah menjadi pisau bermata dua yang berpotensi mengancam hak kebebasan berpendapat atau dapat menjadi jaminan hukum dalam berupaya untuk mencegah berbagai kejahatan siber. Semua itu tergantung pada bagaimana pemerintah dapat memberikan koridor kewenangan yang seharusnya menjamin ruang digital negara Indonesia agar tetap bersih, sehat, dan beretika. ()