Senin (26/9), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan dibantu Polsek Cilincing dan Satpol PP, menutup 10 tempat prostitusi di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Langkah tersebut merupakan respon terhadap keresahan warga Semper Timur, Cilincing, Jakarta Utara yang menyuarakan kereseahannya setelah adanya peristiwa pemerkosaan anak perempuan berusia 13 tahun di Hutan Kota Rawa Malang yang hanya berjarak satu kilometer dari kesepuluh tempat prostitusi yang ditutup.
“Kami tidak memperkenankan adanya prostitusi di Jakarta, dimana saja, apalagi terkait anak-anak harus kami jaga,” jawab Ahmad Riza Patria, Wakil Gubernur DKI Jakarta saat dimintai keterangan pada Sabtu (24/9) oleh Antara terkait rencana penutupan tempat-tempat prostitusi di Jakarta.
Penutupan yang direalisasikan pada Senin malam tersebut menjaring 30 orang PSK dari 10 tempat prostitusi yang ditutup. Puluhan pekerja seks komersial (PSK) tersebut akan diserahkan kepada suku dinas sosial untuk diberi pelatihan sebelum dipulangkan ke kampung halaman. Menurut keterangan Kanit Reskrim Polsek Cilincing, AKP Alex Chandra, tempat prostitusi di wilayah Cilincing sebagian besar memiliki bentuk usaha sebagai kafe atau tempat hiburan malam yang di dalamnya ternyata menjalankan praktek prostitusi.
Walau melanggar hukum, dalam penutupan massal tersebut Polsek Cilincing tidak melakukan penahanan terhadap ketiga puluh PSK yang ditemukan di lokasi. Disamping tidak dilakukannya penahanan, prostitusi tetap merupakan perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam beberapa produk hukum. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hingga produk hukum lex specialis seperti undang-undang mengatur pemidanaan praktek prostitusi baik dengan pemaksaan maupun tidak.
Dalam KUHP, praktik muncikari diancam penjara maksimal satu tahun empat bulan atau denda maksimal 15 juta rupiah oleh Pasal 296 jika seseorang dengan sengaja memudahkan perbuatan cabul terhadap orang lain dan menjadikan hal tersebut sebagai mata pencaharian. Lebih lanjut prostitusi diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan dilarangnya penyediaan jasa pornografi dengan menawarkan layanan seksual baik secara langsung maupun tidak langsung dan dapat dijatuhi hukuman penjara 2 hingga 15 tahun dan/atau denda Rp 1 Miliar hingga Rp 7,5 Miliar jika terbukti memfasilitasi praktik prostitusi dalam Pasal 33 UU Pornografi.
Terbaru, UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), mengatur prostitusi sebagai pemaksaan pelacuran dan tindak pidana perdagangan orang untuk eksploitasi seksual, serta eksploitasi seksual anak dalam Pasal 4 ayat (2). Tindakan eksploitasi seksual tersebut dipidana sebagai praktik prostitusi dalam Pasal 12 dengan perbuatan tambahan yaitu adanya keuntungan ekonomi yang diterima. Dengan Pasal 12 tersebut diatur bahwa, seseorang yang menyalahgunakan kedudukan, keadaan seperti penjeratan hutan maupun keuntungan lainnya untuk memenuhi keinginan seksual dapat diancam pidana penjara 15 tahun dan/atau denda Rp 1 Miliar. Sebelum berlakunya UU TPKS, eksploitasi seksual untuk meraup keuntungan diatur secara umum sebagai salah satu bentuk eksploitasi dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. ()