Urgensi Reposisi Hak Budget DPR dalam Pengelolaan Keuangan Negara & APBN

Oleh: Athallah Zahran

(Internship Advokat Konstitusi)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kedudukan yang strategis dalam pengelolaan keuangan negara. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi DPR, yakni fungsi anggaran yang didalamnya terdapat hak budget DPR. Apalagi Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan, tegas menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan ini menggariskan bahwa yang dimaksud APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara, bentuk hukumnya adalah undang-undang. Bentuk hukum undang-undang inilah yang membuat DPR terlibat dalam penyusunan APBN sebagai pengelolaan keuangan negara.

Berdasarkan penjelasan umum diatas, terdapat dua pembahasan yang akan penulis jelaskan. Yaitu mengenai eksistensi hak budget DPR dan mengenai reposisi hak budget DPR.

Eksistensi Prosedural Hak Budget DPR

Reformasi pengelolaan keuangan negara telah melahirkan 3 (tiga) paket UU di Bidang Keuangan Negara, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara), dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara). Dalam UU tersebut antara lain menegaskan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran. Dalam hal perumusan dan pembahasan anggaran, peran penting DPR antara lain adalah: membahas dan menetapkan bidang prioritas Rencana Kerja Pemerintah (RKP), pembahasan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, serta membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk berbagai kementerian dan lembaga negara.

Pembahasan APBN di DPR melibatkan Fraksi, Komisi, dan Badan Anggaran. Sebelum dilakukan pembahasan di Komisi I-XI, dan Badan Anggaran, Fraksi-fraksi menyampaikan pandangan umumnya terhadap RAPBN yang diajukan oleh Presiden, kemudian Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah menanggapinya. Kedua kegiatan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna terbuka dalam waktu yang berbeda. Setelah itu Komisi I-XI bersama pasangan kerjanya membahas secara detail anggaran di masing-masing Kementerian/lembaga. Sementara itu Badan Anggaran membahas RAPBN secara keseluruhan meliputi Asumsi Makro, besaran Pendapatan Negara, besaran Belanja Negara, Kebijakan Defisit, dan Pembiayaan untuk menutup defisit.

Karena secara konsepsional, hak budget DPR diletakkan pada posisi yang kuat, maka berdasarkan pada Pasal 15 Ayat (3) UU Keuangan Negara, DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RAPBN. Perubahan pada besaran asumsi makro ekonomi akan berdampak pada besaran pendapatan negara, belanja negara dan pembiayaan defisit APBN. Proses perubahan anggaran dilakukan melalui mekanisme rapat bersama antara DPR dan Pemerintah, baik di komisi terkait maupun di Badan Anggaran.

Adapun persetujuan akhir terhadap APBN dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR yang dihadiri juga oleh Wakil Pemerintah. Proses pengambilan keputusan diawali dengan Laporan Ketua Badan Anggaran (Ketua Banggar) yang menyatakan pembahasan APBN telah selesai dilaksanakan dan meminta untuk diambil keputusan. Dalam laporan tersebut, Ketua Banggar melaporkan juga mengenai pendapat dan catatan dari masing-masing fraksi. Kemudian Pimpinan Rapat Paripurna menanyakan kepada seluruh anggota parlemen apakah dapat menyetujui atau menolak hasil pembahasan tersebut. Persetujuan pada dasarnya dilakukan dengan musyawarah dan mufakat, namun apabila tidak tercapai, maka pengambilan keputusan dilakukan melalui voting.

Uraian diatas menunjukkan bahwa hak budget DPR dalam pengelolaan keuangan negara tidak hanya seputar urusan yang bersifat makro strategis. Namun juga yang bersifat mikro teknis. Hak budget DPR dalam pengelolaan keuangan negara ini meliputi aspek perencanaan RAPBN, pembahasan RAPBN menjadi APBN, pengawasan pelaksanaan APBN, dan penerimaan laporan pertangggungjawaban pelaksanaan APBN.

Reposisi Hak Budget DPR: Sebuah Urgensi?

Pasal 23 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional hak budget DPR sebenarnya secara harfiah telah membatasinya pada menerima atau menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Pembatasan hak budget tersebut intinya terletak pada fokus DPR untuk menilai dengan alasan legitimitas atau kemanfaatan publik terhadap APBN dibandingkan penilaian teknis. Jadi, DPR memfokuskan pada strategi anggaran negara yang sesuai dengan kebutuhan rakyat, bukan pada teknis angka-angka anggaran.

Oleh karena itu, politik hukum yang memosisikan DPR menyetujui APBN pada unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja pada UU Keuangan Negara dan UU MD3 merupakan kekeliruan politik hukum keuangan negara yang fatal. Posisi tersebut menyebabkan DPR seakan-akan jadi otorisator sekaligus inisiator, baik dalam perencanaan maupun penganggaran. Adanya duplikasi posisi tersebut jelas tidak sehat dan tidak akuntabel dipandang dari perspektif asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Reposisi hak budget perlu dilakukan dengan melakukan perubahan mendasar pada UU Keuangan Negara dan UU MD3 dengan memosisikan hak budget sebatas menerima dan menolak RAPBN yang diajukan pemerintah dengan dua alasan. Pertama, RAPBN tidak sesuai dengan prioritas fungsi dan program yang telah direncanakan pemerintah dalam dokumen perencanaan. Kedua, RAPBN tidak memiliki alasan kemanfaatan (legitimasi) bagi kualitas penyelenggaraan pemerintahan secara umum dan pelayanan publik.

Adanya reposisi hak budget tersebut akan menghindarkan penggunaan wewenang atau mentransaksikan pengaruh DPR pada hal-hal bersifat mikroteknis atau mikropraktis. Sebab, kondisi demikian akan menyebabkan DPR berkutat pada perhitungan transaksi politis atau angka-angka anggaran dengan motivasi diluar kepentingan umum yang seharusnya dilindungi dan di luar rasionalitas dokumen perencanaan pembangunan yang ditetapkan sebelumnya. Selain itu, reposisi hak budget juga menghindari makna hak budget sebagai bentuk aktif DPR dalam siklus anggaran negara. Padahal, secara konstitusional, DPR tidak dimintakan pembahasan/persetujuan atas keseluruhan siklus anggaran, mulai dari perencanaan sampai pertanggungjawaban, tetapi dimulai saat presiden mengajukan rancangan APBN kepada DPR dan kemudian saat presiden mengajukan pertanggungjawaban anggaran.

Kesimpulan

Peran DPR dalam pengelolaan keuangan negara yang berbentuk APBN sangat strategis. Peran tersebut melekat dalam rangka menjalankan salah satu fungsi DPR yakni fungsi anggaran yang didalamnya termuat hak budget DPR. Hak budget DPR tersebut merupakan derivasi kedaulatan rakyat, sehingga kedudukan DPR lebih tinggi dalam pembahasan RAPBN dibandingkan dengan Pemerintah. Dalam konstitusi Indonesia, hak budget DPR tersebut terlihat dalam bentuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap RAPBN yang diajukan Presiden. Dengan demikian, final say atas proposal RAPBN ada ditangan DPR.

Kewenangan yang luas dan mendetail tersebutm menunjukkan bahwa hak budget DPR termasuk ke dalam unrestricted power yang bahkan dapat merubah mata anggaran atau perpindahan matan anggaran dalam RAPBN. Oleh karena itu, DPR perlu menguatkan pengawasan terhadap pemerintah dalam penggunaan anggaran dengan menilai legitimasi atau kemanfaatan bagi kepentingan publik guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Aspek konstitusionalitas pengawasan dan hak budget DPR jelas menguji legitimasi sehingga APBN dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat melalui ukuran konsistensi antara perencanaan dan penganggaran. Adanya sistem pengawasan secara seimbang yang dilakukan pemerintah dan DPR dalam APBN adalah untuk menjaga kepastian hukum dalam rangka menjaga kedudukan pemerintah dan DPR dalam hal keuangan negara.

 

  ()