Jawa adalah Kunci!

Oleh: Joshua

(Content Creator Advokat Konstitusi)

 Tahun lalu, saya menemukan dan menonton video Youtube berisi percakapan antara Anies Baswedan dan Gus Miftah. Dalam video tersebut Gus Miftah bertanya kepada Gubernur DKI Jakarta tersebut, “Njenengan iki Jowo opo Arab toh mas?” yang artinya “Anda ini orang Jawa atau orang Arab?” yang kemudian dijawab oleh Anies “Wong Yogjo, tonggo (Orang Yogya, tetangga)”. Jawaban yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan, karena walaupun leluhurnya berasal dari Yaman, namun orang nomor satu di ibukota tersebut merupakan putra yang dibesarkan di Yogyakarta, dalam lingkungan Jawa.

Tidak, tidak. Tulisan ini bukanlah untuk memperdebatkan apakah beliau bersuku Jawa atau Arab, bukan pula untuk membicarakan hal-hal eksplisit yang dapat didengar oleh telinga kita. Sebagai catatan pula, tulisan ini ditempatkan sebagai tulisan hukum, bukanlah politik. Mengingat salah satu hal yang lekat dengan hukum ialah budaya hukum, titik beratnya ialah tentang studi hukum dan masyarakat.

Politik Identitas

Menurut hemat penulis, untuk mengawali tulisan ini, perlu dilandasi dengan pemahaman politik identitas. Dilansir dari apa yang dikemukakan oleh Muhammad Habibi dalam sebuah jurnal berjudul “Analisis Politik Identitas di Indonesia” politik identitas dapat disebut pula dengan biopolitik ataupun politik perbedaan, yang pada prakteknya mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari perbedaan tubuh. Walaupun begitu, seorang bernama Linda Nicholson  seolah memperluas pengertian politik identitas yang tidak hanya bergantung pada perbedaan-perbedaan yang sifatnya biologis, namun juga bahasa, ekonomi, budaya, serta politik yang menciptakan solidaritas antara mereka hingga dapat melakukan perjuangan-perjuangan yang dianggap penting.