Rancangan Undang-Undang Kesehatan resmi disahkan dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 11 Juli 2023 yang menuai pro kontra. Merespon hal tersebut, @advokatkonstitusi sebagai platform media sosial yang membahas hukum dan konstitusi menyelenggarakan Webinar dengan tema “Polemik Pengesahan RUU Kesehatan Menjadi Undang-Undang”, Jumat (11/8). Dengan begitu, maka dapat menghasilkan suatu kajian yang berkualitas.
Webinar yang diikuti oleh lebih dari 300 partisipan ini diselenggarakan melalui Platform Zoom Meeting. Isu pengesahan RUU Kesehatan dalam webinar ini dibahas dari perspektif metode pembentukan peraturan, substansi, dan potensi pelanggaran dalam peraturan tersebut. Oleh karena itu, webinar ini menghadirkan narasumber sesuai dengan bidang keilmuannya. Narasumber yang pertama adalah Bivitri Susanti, S.H., LL.M. sebagai Dosen STH Islam Jentera. Beliau menyampaikan materi dengan pembahasan metode dalam perancangan Undang-Undang Kesehatan ini. Ibu Bivitri berpendapat bahwa proses dalam RUU perlu diperhatikan dalam menggunakan metode Omnibus Law yang akan menimbulkan masalah. Meskipun metode Omnibus Law memiliki kelebihan, namun melihat lagi akan dibawa kemana politik hukum dengan partisipasi masyarakat. Karena pada intinya, paradigma dalam Undang-Undang Kesehatan ialah pemenuhan hak kesehatan.
Metode Omnibus Law sudah termuat dalam UU No. 13 Tahun 2022 tentang perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berawal dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, banyak peraturan yang menginginkan menggunakan metode Omnibus Law, karena dalam proses legislasi yang cepat, pemerintah lebih efisien, instan, hemat biaya dan harmonisasi.
Salah satu pakar hukum Bivitri Susanti sebagai pengajar STH Jentera menjelaskan mengenai metode dalam rancangan Undang-Undang Kesehatan bahwa metode Omnibus Law dianggap kurang tepat, salah satu penyebabnya yakni tidak ada yang tahu akan dibawa kemana politik hukum dari undang-undang tersebut. Sehingga peraturan tersebut dianggap bersifat partisipatif namun ternyata hanya menguntungkan pihak tertentu. Menurutnya pembahasan RUU ini cenderung membingungkan dan tertutup tanpa partisipasi publik yang bermakna. Partisipasi bermakna bukan hanya berkaitan dengan akademisi. Akademisi hanyalah menjadi salah satu dari stakeholders. Partisipasi bermakna yang dimaksud yaitu pihak-pihak yang terdampak dan yang memiliki kepentingan.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU VIII/2020 pada dasarnya partisipasi publik bermakna dalam pemenuhan hak untuk didengarkan, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan jawaban atas pendapat, terutama bagi kelompok masyarakat yang terkena dampak langsung.
Sundoyo selaku Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan RI kurang sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Bivitri, bahwasannya Undang-Undang Kesehatan menggunakan metode Omnibus Law sudah dirancang dengan tahap-tahap yang baik. Prolegnas 2020 juga sudah membahas mengenai Undang-Undang Kesehatan. Jika tidak dilakukan perbaikan dalam peraturan ini maka terdapat tumpang tindih.
Undang-Undang Kesehatan diperlukan perubahan karena terdapat permasalahan misalnya seperti fasilitas kesehatan, kurangnya spesialis kesehatan, dan politik hukum kesehatan. Perubahan ini juga pastinya mempengaruhi perubahan hak dan kewajiban dari berbagai pihak. Pada intinya yang semuda peraturan tersebut berguna untuk mengatasi maka dalam perubahan ini bertujuan untuk mencegah.
Dhia Al Uyun berpendapat bahwa RUU Kesehatan terlalu cepat dalam pengesahannya yang berpotensi terjadinya pelanggaran HAM. Substansi UU Kesehatan saat ini dianggap diskriminatif dan jaminan kesehatan tidak berbanding lurus dengan akses kesehatan yang telah dibuat. Sehingga tanggug jawab kesehatan beralih menjadi tanggung jawab tenaga kesehatan. Padahal jaminan kesehatan harusnya ditangani oleh pemerintah. Seolah-olah hal ini seperti pendelegasian jaminan kesehatan tanpa support system.
Ketidakjelasan substansi sehingga membingungkan pada sanksi. Misalnya seperti fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar, jadi siapa yang akan disalahkan jika pelayanan kesehatan tidak sesuai undang-undang? Sehingga pemerintah seperti mengalihkan tanggung jawab tanpa memberikan solusi. Jika pengesahan RUU Kesehatan tidak tergesa-gesa, maka mungkin ada penyelesaian dalam hal ini.
Acara berjalan dengan lancar dan khidmat, didukung oleh pemateri yang expert di bidangnya sehingga antusiasme dari peserta sangat baik. Antusiasme tersebut terbukti dengan adanya banyak peserta yang ingin mengajukan pertanyaan kepada narasumber. Beberapa pertanyaan diantaranya adalah terkait dengan implementasi RUU Kesehatan kedepannya, dampak yang diberikan, dan ada pula yang menanyakan relevansinya dengan kebidanan. Tanya jawab ini sebagai penutup pada acara Webinar “Pengesahan RUU Kesehatan Menjadi Undang-Undang Kesehatan”. ()