Oleh : Ahmad Fauzi
(Internship Advokat Konstitusi)
Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang berbunyi “ dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai undang-undang”. Presiden secara konstitusional memiliki kewenangan secara prerogatif dalam pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Kewenangan Presiden dalam pembentukan perpu berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945, dilihat dari syarat pembentukannya bahwa Presiden hanya dapat membentuk perpu dalam kondisi “kegentingan yang memaksa”, UUD tidak memberikan penjelasan lebih lanjut yang dimaksud dengan “kegentingan yang memaksa” tersebut. sehingga penafsiran penuh ada pada Presiden.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 menyatakan dalam pertimbangan putusannya memberikan ukuran objektif adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan Perpu, yaitu:
- Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.
- Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau undang-undang tetapi tidak memadai
- Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Menurut Dr. Asep Warlan Yusuf sampai saat ini belum ada ukuran yang jelas dan terkukur mengenai yang dimaksud “ hal ikhwal kegentingan memaksa” sehingga yang diatur dalam Pasal 22 tersebut merupakan penilain subjektif Presiden. Perpu tersebut secara langsung berlaku saat diundangkan dan akan disahkan menjadi undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), jika ditolak maka Perpu tersebut akan dicabut. (Siddiq dan Yakub, 2009: 20)
Perpu secara hierarki peraturan perundang-undangan sejajar dengan undang-undang. Hal ini dikuatkan oleh Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014 menyatakan materi muatan perpu adalah materi muatan undang-undang, mempunyai daya berlaku seperti undang-undang dan mengikat secara langsung sejak diundangkan. Sehingga secara hiraki, fungi dan materi muatannya sama namun dalam pembentukannya berbeda. (Maria, 2006:80)
Pembentukan perpu dalam perjalanan pemerintahan di Indonesia tentu saja memiliki permasalahan baik secara prosedural pembentukkannya maupun substansi perpu tersebut. Beberapa Perpu yang dibentuk akan menjadi suatu problematika jika dalam pembentukannya memliki suatu kesalahan dalam proses pembentukannya. Hal tersebut dapat dilihat dengan dibentuknya beberapa Perpu di Indonesia.
Pertama, Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2002 tentang Perlindungan anak dan telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Yang menjadi permasalahan perpu ini mengatur mengenai hukuman kebiri, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Pasal 15 dinyatakan yang dapat mengatur ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Perda.
Hal lain yang menjadi permasalahan hukum kebiri kimia (chemical castration) merupakan penyiksaan, sebagaimana undang-undang dasar telah mengatur hak asasi manusia, sebagaimana dalam Pasal 28 I ayat (1) telah menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Hukuman kebiri dapat melanggar HAM dikarenakan hak untuk tidak disiksa tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).
Mengenai pelaksanaan hukuman kebiri kimia tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan terhadap anak. Perpu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu keadaan yang tidak biasa seharusnya dalam pembentukannya juga extraordnary. Menurut Prof Susi Dwi Harijanti seharusnya perpu dibentuk dengan Fast Track Legilation, Perpu harus menjadi prioritas di DPR untuk menyekesaikan situasi kedaruratan tersebut.
Kedua, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijkaan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi covid-19 dan dalam rangka menghadapi ancaman membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas keuangan. Perpu ini merupakan wadah untuk mengatasi kondisi kegentingan yang memaksa, yang memebuat pemerintha harus mengambil kebijakan dan langkah-langkah untuk mengatasinya.
Berdasarkan Pasal 27 ayat (3) menyatakan “segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Udang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”. Prof Susi Dwi Harijanti menyatakan perpu tidak mengatur sifat ketatanegaraan yang dapat melimitasi atau melemahkan cabang kekuasaan lain. Hal itu dapat mencederai atau melanggar prinsip konstitusionalisme dan prinsip check dan balances.
Perpu menurut Jimly Asshidiqie memiliki syarat materiil dalam penetapannya, yaitu, pertama, ada kebutuhan yang mendesak atau bertindak Reasonable necessity; kedua, waktu yng tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan waktu; Ketiga, tidak tersedia alternatif atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan Perpu adalah satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut. (Jimly, 2007:282)
Menurut Prof Jimly Perpu No.1 Tahun 2020 secara umum sudah memenuhi syarat penerbitan sebuah perpu, namun perpu tersebut bukan diperuntukkan dalam kondisi darurat. Sebab, dalam bagian menimbang Perpu No. 1 Tahun 2020 tidak mengacu pada Pasal 12 UUD NRI 1945, tetapi hanya mengacu Pasal 22. Sedang kedua pasal tersebut saling berkaitan pada awal pembentukannya. Berdasarkan tujuan fungsinya Prof Maria menyatakan Perpu No 1 Tahun 2020 tidak sesuai dengan fungsi keberlakuannya yang hanya bersifat sementara, seharusnya peraturan berlaku untuk waktu yang lama.
Permasalahan dalam pembentukan perpu kebiri yaitu; pertama, Presiden menganggap Perpu tersebut sangat urgen, namun melihat proses dari Perpu sampai dengan disahkan menjadi Undang-Undang dan dibentukanya peraturan pemerintah mengenai perlaksanaan perpu tersebut sangat membutuhkan waktu yang lama; kedua, Perpu tersebut mengatur mengenai ketentuan pidana sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang pembentukan peraturan perundang-undangan hanya Undang-Undang dan Perda saja yang dapat mengatur ketentuan pidana; ketiga, perpu tersebut melanggar HAM sebagaimana hak untuk tidak disiksa merupakan HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).
Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memiliki permasalahan yaitu: pertama, dalam Perpu terebut mengatur bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perpu tersebut bukan merupakan objek sengketa yang dapat diajukan ke PTUN, hal tersebut telah menegasikan kewenangan dari PTUN. Kedua, perpu tersebut mengatur mengenai penanganan pandemi Covid-19 yang bersifat yang seharusnya peraturan harus berlaku untuk waktu yang sangat lama.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut diperlukan pembatasan kewenangan Presiden dalam pembentukan Perpu, maka seharusnya dibentuk pengaturan khusus mengenai pembentukan perpu. Peraturan tersebut dapat memuat prosedur pembentukan perpu dan substansi yang dimuat dalam perpu tersebut. ()