Penghapusan Limbah FABA dalam Kategori Limbah B3

Oleh: Salsabila Rahma Az Zahro

(Internship Advokat Konstitusi)

Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan pada 5 Oktober 2020 oleh DPR RI dan diundangkan pada tanggal 2 November 2020 oleh pemerintah. Peraturan ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing serta domestik dengan mengurangi berbagai persyaratan izin usaha dan pembebasan lahan. Saat ini, sektor yang paling terkena dampak dari UU Cipta Kerja, selain masalah ketenagakerjaan, yaitu sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menjelaskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini secara gramatikal dalam UU Cipta Kerja disebutkan bahwa penguasaan segala sumber daya alam oleh negara pada hakikatnya hanya sebatas menyelenggarakan, menggunakan, memelihara, dan mengatur lingkungan, bukan untuk menggunakan kekayaan tersebut guna mencapai keuntungan bagi negara dan mengabaikan suara dan izin dari masyarakat. 

Setelah UU Cipta Kerja disahkan, banyak menuai pro dan kontra dalam masyarakat terkhususnya mengenai penghapusan limbah Fly Ash and Bottom Ash (FABA) dalam kategori limbah B3. Limbah FABA merupakan hasil pembakaran batubara di pembangkit listrik yang seharusnya bukan limbah berbahaya dan beracun, namun karena jumlahnya besar, maka Kementerian LHK menggolongkan limbah FABA ke dalam kategori limbah B3 dalam PP No. 101 Tahun 2014. Limbah FABA yang masuk kategori B3 membuat investasi PLTU menjadi sangat mahal dan selama ini menjadi incaran pemerasan oknum tertentu. Maka, saat ini dikeluarkan regulasi baru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang didalamnya terdapat pengaturan tentang Pengelolaan Limbah B3 dan Non B3 termasuk limbah FABA.

Pengelolaan limbah FABA harus melalui prosedur yang panjang dengan biaya yang mahal, jika limbah ini masuk ke kategori limbah B3. Menurut Nani Hendiarti, Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan mengatakan penggunaan FABA untuk keperluan  bahan baku atau keperluan sektor konstruksi harus tetap menerapkan prinsip kehati-hatian setelah adanya permintaan para pihak untuk pengecualian FABA dari daftar limbah B3. Keluarnya limbah FABA dalam kategori limbah non B3 dapat memastikan berbagai sektor industri ketenagalistrikan, industri besi baja, dan industri nikel akan berkembang pesat dan bersaing dengan negara lain karena pengelolaan limbah FABA akan lebih mudah dan mempercepat proses elektrifikasi di Indonesia. 

Limbah FABA keluar dari kategori limbah B3 menguntungkan beberapa pihak dari sektor industri. Tetapi, limbah FABA ini akan menghasilkan dampak negatif bagi masyarakat dan berbahaya bagi lingkungan karena mengandung arsenik, merkuri, kromium, timbal dan logam berat lainnya yang dapat menyebabkan penyakit yang menimbulkan resiko kematian. Menurut Khalisah Khalid, Koordinator Bidang Politik Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), mengatakan bahwa penghapusan limbah FABA dari kategori limbah berbahaya dan beracun (B3) merupakan kejahatan lingkungan yang dilakukan negara. Bukan hanya di Indonesia, terdapat 30 negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) termasuk Amerika dan Jepang juga tidak memasukan FABA ke dalam kategori limbah B3. 

Sumber

Agua Pambagio. 2020. UU Cipta Kerja da Delisting FABA sebagai Limbah B3. https://kumparan.com/agus-pambagio/uu-cipta-kerja-dan-delisting-faba-sebagai-limbah-b3-1ut068Agmqc. Diakses 11 Maret 2021

Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, 2020, Tindak Lanjut Upaya Penyederhanaan Aturan FABA. http://www.apbi-icma.org/news/2529/tindak-lanjut-upaya-penyederhanaan-aturan-faba. Diakses pada 12 Maret 2021.

  ()