Oleh. Shafira Arizka Maulidyna
Dalam tataran praktik bernegara, pemerintah Indonesia beberapa kali melakukan beberapa pembatasan HAM atas dasar argumentasi mengenai keadaan darurat. Sejak masa orde baru hingga reformasi, Indonesia tercatat tidak pernah lepas dari keadaan darurat baik secara de jure ataupun de facto. Seperti Peristiwa Tanjung Priok 1984, Rangkaian Peristiwa 1998, Peristiwa Timur-Timor 1999, hingga Peristiwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh tahun 2003, dll. Praktik mengenai pembatasan hak asasi manusia tersebut justru menyentuh hak hak yang bersifat non derogable rights yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, serta harta benda yang seharusnya dilindungi. Peristiwa tersebut, tidak lain diakibatkan oleh penyalahgunaan kekuatan militer terhadap penduduk sipil.
Aceh merupakan salah satu saksi bisu dari pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara. Penetapan dan deklarasi keadaan darurat (state of emergency) menjadi tameng yang melegalisasi segala tindakan kekerasan dengan dalih pembatasan HAM yang harus dilakukan dalam keadaan darurat negara. Peristiwa tersebut dipicu oleh deklarasi kemerdekaan Aceh di tanggal 4 Desember 1976 yang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik ini terus berlanjut hingga awal tahun 1990 yang pada puncaknya mendorong dilaksanakannya Operasi Jaring Merah bersamaan dengan penetapan Daerah Operasi Militer Aceh (DOM) sejak tahun 1990 hingga 1998. Operasi Militer ini selanjutnya disebut oleh Harriet Martin sebagai salah satu operasi militer bersenjata yang paling kotor di Indonesia dikarenakan dilaksanakan dengan melibatkan eksekusi sewenang-wenang oleh unsur state, penculikan, penyiksaan, penghilangan hingga pembakaran desa.
Setelah diberhentikannya Operasi Militer pasca runtuhnya rezim Orde Baru, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan darurat militer melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003. Secara formil, perbedaan antara pelaksanaan DOM dengan darurat militer yang ditetapkan adalah adanya deklarasi terbuka oleh Presiden yang dilakukan secara resmi langsung dibawah pertanggungjawaban Presiden. Namun dalam implementasinya Keppres yang diterbitkan oleh Presiden Megawati tidak cukup menjadi payung hukum akibat rancunya kandungan mandat, mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban yang merujuk pada UU No 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya dan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
Menurut KontraS catatan ketidakjelasan tersebut meliputi: Pertama, penetapan status darurat militer menjadi kontra produktif dengan tujuan awal akibat konsideran menimbang dalam Keppres mencampuradukkan persoalan yang belum tentu berhubungan dengan separatisme serta tujuan mempertahankan NKRI. Kedua, adanya perbedaaan prinsipil antara rujukan Keppres tersebut, yang terdiri atas UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan Keempat, UU No 23 Prp Tahun 1959 tentang keadaan Bahaya, serta UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Perbedaan-perbedaan ini sulit untuk saling mendukung ketiga instrumen yang menjadi dasar diimplementasikan secara bersama sebagai dasar penerapan status Darurat Militer, karena kandungan konflik kepentingan, tafsir dan tindakan.
Pada tanggal 19 Mei 2004, Presiden Megawati memutuskan untuk menurunkan status darurat militer menjadi darurat sipil. Meski demikian, penetapan tersebut tidak menghapuskan seluruh operasi militer di Aceh. Dalam lingkup waktu lebih dari 14 tahun terakhir, banyak sekali pelanggaran HAM yang terjadi di Provinsi Aceh dan tergolong sebagai pelanggaran HAM Berat (extraordinary crimes) dikarenakan menyentuh hak-hak yang bersifat non derogable rights. Terlebih pelanggaran HAM di Aceh tidak lagi hanya dalam lingkup hak-hak sipil saja, namun juga menyebabkan banyak hak-hak ekonomi budaya menjadi tercederai disaat yang bersamaan. Persoalan ini juga diakibatkan oleh substansi konstitusi yang tidak secara spesifik mengatur mengenai keadaan state of emergency yang meliputi sifat-sifat kedaruratan, jenis pembatasan hak serta prosedur hukumnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dalam hukum internasional. Dasar konstitusionalitas atas keadaan darurat hanya diatur dalam Pasal 12 UUD 1945.
Adanya situasi darurat (state of emergency) tidak dapat dijadikan dasar argumen untuk mengabaikan proses eksaminasi atas tanggung jawab lain untuk pemenuhan HAM. Oleh karena itu, negara wajib menyelesaikan kasus pelanggaran HAM untuk mencegah impunitas. Penyelesaian pelanggaran HAM tersebut dilaksanakan bukan hanya untuk pemulihan (reparation) hak-hak korban saja, melainkan juga agar tidak terulangnya pelanggaran serupa di masa depan. Oleh karena itu, usaha penyelesaian pelanggaran HAM harus dilihat sebagai bagian dari langkah memajukan dan melindungi HAM secara keseluruhan. Namun, meskipun terdapat kewajiban pertanggungjawaban negara, nyatanya penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM masih belum mampu untuk ditegakkan.
Persoalan penegakan ini menjadi sangat sulit dikarenakan beberapa faktor, yakni: Pertama, kelemahan substansial berkaitan batas waktu pemeriksaan pengadilan yang menyulitkan penegak hukum. Kedua, kegagalan akibat penegak hukum yang tidak kompeten. Ketiga, adanya tekanan dan intimidasi yang dilakukan pendukung terdakwa. Keempat, Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak pernah secara sungguh-sungguh menempatkan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu sebagai agenda pemerintah transisi untuk diselesaikan. Pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo sempat menjanjikan untuk menuntaskan permasalahan pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan di masa lalu. Namun sejak terpilih pada tahun 2014, hingga terpilihnya kembali di tahun 2019 di periode kedua, persoalan mengenai penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masih belum dapat dituntaskan sampai saat ini. Meskipun Presiden Joko Widodo menunjukan keseriusan janji politiknya, namun dalam implementasinya masih sangat sulit dikarenakan masih ditemukan banyak kendala yang sama.
Hingga saat ini, bukan hanya Aceh yang masih menunggu kepastian akan hak mereka untuk mendapatkan keadilan. Tragedi-tragedi berdarah lainnya seperti Tragedi Semanggi, Tragedi Tanjung Priok, dll masih menunggu keseriusan negara untuk menyelesaikannya. Untuk menyelesaikan bermacam-macam permasalahan diatas disamping penegakan hukum secara formil, tentu dibutuhkan komitmen politik yang kuat untuk menyelesaikannya, khususnya dalam hal politik hukum penegakan HAM. Persoalan-persoalan tersebut hanya dapat diselesaikan jika diperbaiki secara sistemik melalui penataan struktur hukum dan kelembagaan, substansi hukum serta budaya hukum di masyarakat. ()