oleh : Risa Pramiswari
Internship Advokat Konstitusi
Pada hakikatnya, melangsungkan perkawinan dan membina rumah tangga merupakan hak Warga Negara Indonesia (WNI) yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, tepatnya dalam Pasal 28B ayat (1). Definisi dari perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah “Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan berita mengenai seorang anak perempuan yang berumur 19 (sembilan belas) tahun terpaksa menikahi seorang Kepala Desa (Kades) demi melunasi hutang Ibunya. Dalam hal ini, perkawinan yang terjadi antara anak dan Kades tersebut tidak bisa disebut sebagai perkawinan anak karena definisi anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak di dalam kandungan. Di samping itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengatur mengenai batas usia antara pria dan wanita yang dapat melangsungkan perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.” Apabila dilihat dari ketentuan usia, anak tersebut sudah bisa melangsungkan perkawinan. Akan tetapi, hak-hak yang dimiliki oleh anak tersebut juga tidak boleh diabaikan.
Jaminan hutang menurut hukum perdata dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan khusus terbagi atas jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Adapun yang termasuk dalam jaminan kebendaan, seperti gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotik, dan resi gudang. Selanjutnya, yang dimaksud sebagai jaminan perorangan merupakan bentuk dari penanggungan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menjelaskan bahwa jaminan perorangan adalah kondisi di mana pihak ketiga mengikatkan diri sebagai penanggung untuk memenuhi perikatan orang yang berhutang (debitur) jika debitur tersebut tidak memenuhinya (wanprestasi).
Unsur terpenting dalam penanggungan ini tertera dalam ketentuan Pasal 1824 KUHPer yang menyatakan, “Penanggungan utang harus diadakan dengan pernyataan yang tegas, tidak boleh untuk memperluas penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat saat mengadakannya.” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian penanggungan bisa diadakan apabila penanggung menyatakan dengan tegas kemauan untuk mengikatkan diri sebagai penanggung orang yang berhutang.
Sementara itu, apabila seseorang menjadikan anak yang belum menginjak usia 18 (delapan belas) tahun sebagai jaminan hutang maka anak tersebut dilindungi haknya oleh UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014). UU ini menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari:
- diskriminasi;
- eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
- penelantaran;
- kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
- ketidakadilan; dan
- perlakuan salah lainnya.
Dengan demikian, apabila seseorang menjadikan anak sebagai jaminan hutang-piutang akan dianggap telah melakukan eksploitasi secara ekonomi demi keuntungan pribadinya. Seperti yang tertera dalam ketentuan Pasal 76I UU a quo:
“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.”
Atas perbuatan tersebut, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sesuai yang tertera dalam ketentuan Pasal 88 UU a quo.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Pasal 1824 KUHPer apabila ingin menjadikan seseorang sebagai jaminan dalam hutang-piutang maka orang tersebut harus menyatakan dengan tegas kemauannya untuk mengikatkan diri sebagai penanggung orang yang berhutang tanpa adanya tekanan maupun paksaan dari pihak lain. Di samping itu, seorang anak yang belum menginjak usia 18 (delapan belas) tahun dilindungi hak-haknya dalam UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014) sehingga tidak bisa dijadikan jaminan dalam hutang-piutang. ()