Oleh: Anindya Yustika
Pemberian gelar doktor honoris kausa bukanlah praktik baru di Indonesia dimana pada tahun 1951 praktik ini dimulai untuk pertama kalinya kepada Presiden Soekarno. Pada hakikatnya, pemberian gelar ini bertujuan baik bagi peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Salah satu kritik terbesar yang menghalangi perkembangan tersebut ialah kurangnya apresiasi dan rekognisi bagi orang-orang yang telah berjasa sehingga praktik pemberian gelar ini menjadi angin segar terhadap lingkungan akademis. Tingkat apresiasi dan rekognisi publik menjadi pilar untuk menghasilkan inovasi-inovasi yang lebih maju. Hal tersebut berkaca pada fakta bahwa seseorang akan lebih bersemangat dan memiliki jiwa bersaing ketika dihadapkan dengan suatu penghargaan atas hal yang diusahakannya. Seperti banyak diketahui dari data-data bahwa banyak orang Indonesia yang cerdas dan memiliki penemuan-penemuan baru yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan serta teknologi kurang dilirik oleh Indonesia sehingga mereka memilih bekerja untuk negara lain.
Di Indonesia, tidak sembarang perguruan tinggi dapat memberikan gelar doktor honoris causa kepada seseorang. Pemberian tersebut hanya dapat dilakukan oleh perguruan tinggi yang memiliki akreditasi A atau unggul sehingga jelas bahwa perguruan tinggi pemberi gelar mempunyai kualitas yang tinggi. Tak hanya itu, doctor honoris causa tidak sembarangan dan tidak begitu mudah diberikan kepada seseorang. Dalam Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 65 Tahun 2016 disebutkan bahwa doctor honoris causa dapat diberikan kepada seseorang yang telah berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, kemasyarakatan dan/atau kemanusiaan. Kriteria tersebut secara empiris ditafsirkan terbuka dan luas karena memang hal yang disebutkan di atas masih belum ada batasan yang jelas. Seharusnya gelar ini diberikan kepada seseorang yang pemikiran, gagasan, karya serta perjuangannya telah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan ilmu pengatahuan dan dirasakan oleh publik secara luas yang biasanya berasal dari berbagai kalangan baik itu tokoh masyarakat, agamawan, pebisnis, jurnalis, pejabat pubik, politisi atau pun akademisi.
Persyaratan Pemberian Gelar Doctor Honoris Causa
Pada tahun 1963 terdapat Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Nomor 120 Tahun 1963 tentang Penertiban Pemberian Gelar “Doctor” dan “Doctor Honoris Causa” (Doktor Kehormatan) serta Gelar-gelar Sarjana Kehormatan Lain. Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan tersebut menyebutkan bahwa:
- Gelar Doktor, disingkat Dr diberikan kepada Sarjana setelah menempuh dengan hasil baik sesuai promosi dengan mempertahankan sebuah thesis.
- Yang berwenang menyelenggarakan promosi tersebut adalah universitas negeri/universitas swasta disamakan.
- Syarat-syarat untuk menjadi promovendus, syarat-syarat, dan prosedur promosi diatur Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan.
Peraturan lainnya adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Nomor 43 Tahun 1980 tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa). Peraturan Pemerintah RI tersebut dikeluarkan sebagai bentuk penyeragaman pemberian Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) oleh perguruan tinggi dengan berdasarkan syarat-syarat serta tata cara yang seragam dan sesuai dengan makna dan tujuannya. Dalam Peraturan Pemerintah RI tersebut dijelaskan bahwa gelar tersebut adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh suatu perguruan tinggi kepada seseorang yang dianggap telah berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia. Pasal 2 ayat (1) pada Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan bahwa gelar kehormatan ini dapat diberikan kepada Warga Negara Indonesia (WNI) atau Warga Negara Asing (WNA). Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa gelar tersebut diberikan sebagai tanda penghormatan bagi jasa atau karya:
- yang luar biasa di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan, dan pengajaran;
- yang sangat berarti bagi pengembangan pendidikan dan pengajaran dalam satu atau sekelompok bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosial budaya;
- yang sangat bermanfaat bagi kemajuan atau kemakmuran dan kesejahteraan Bangsa dan Negara Indonesia pada khususnya serta umat manusia pada umumnya;
- yang secara luar biasa mengembangkan hubungan baik dan bermanfaat antara Bangsa dan Negara Indonesia dengan Bangsa dan Negara lain di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya;
- yang secara luar biasa menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi perkembangan perguruan tinggi.
Problematika Pemberian Gelar Doctor Honoris Causa
Hingga saat ini sudah banyak perguruan tinggi yang melakukan praktik pemberian gelar doktor honoris causa ini, namun seringkali dipraktikkan kepada seseorang yang kurang sesuai dengan kriteria penerima tersebut. Banyak diantaranya diberikan kepada politisi maupun pejabat publik yang sama sekali tidak relevan dengan gelar yang diberikan kepadanya. Hal tersebut menjadi polemik di dalam masyarakat yang mana mereka beranggapan bahwa pemberian gelar doktor honoris causa hanya bersifat transaksional saja. Bahkan, dalam beberapa kasus terjadi penolakan dari elemen mahasiswa maupun akademisi sendiri.
Jumlah politisi atau pejabat publik yang menerima gelar ini meningkat secara signifikan selama dua puluh tahun setelah Reformasi, dibandingkan dengan para ilmuwan dan pengusaha, yang dimulai dari tahun 2000-2005 yang berjumlah tiga penerima, tahun 2006-2010 10 penerima, tahun 2011-2015 26 penerima hingga tahun 2016-2020 yang berjumlah 34 penerima. Sedangkan total angka pemberian gelar Honoris Causa pada periode Tahun 2000-2020 berjumlah 106 penerima. Lonjakan jumlah gelar doktor kehormatan yang diberikan kepada politisi ini memicu kritik dari kalangan pendidikan tinggi. Beberapa anggota lingkaran ini berpendapat bahwa pemberian gelar bergengsi ini tidak didasarkan pada kriteria akademik yang kuat namun pada pertukaran kepentingan antara elit kampus dan elit politik.
Proses pemberian gelar doktor honoris causa yang terjadi secara sepihak dari pihak perguruan tinggi sendiri juga menjadi permasalahan. Pasalnya, pengaturan ini baru diadakan setelah munculnya Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 65 Tahun 2016. Hal ini menjadi suatu kebebasan bagi universitas yang sebelumnya harus meminta perizinan dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi terlebih dahulu jika ingin memberi gelar Honoris Causa kepada seseorang. Dari sini, banyak perguruan tinggi negeri maupun privat yang menyalahgunakan hak tersebut kepada para politikus demi kepentingannya sendiri.
Jika sudah seperti itu, maka kebebasan akademik patut dipertanyakan. Esensi dan peran perguruan tinggi berubah, terdistorsi, dan terdegradasi menjadi lembaga politis dan lembaga bisnis. Institusi akademis hanya sebagai pabrik ijazah dan gelar yang dapat disetir oleh pemegang kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaannya tersebut. Disebutkan di dalam Magna Charta Universitatum yang menjadi prinsip dasar dalam menegakkan kebebasan akademik bahwa, ”The University is an autonomous institution at the heart of societies differently organized….. It produces, examines, appraises, and hand down culture by research and teaching….,” sehingga prinsip kebebasan akademik harus bersandar pada nilai-nilai saintifik dan tidak dapat dikerdilkan dengan pendekatan subjektif otoritatif, yakni negara, kelompok masyarakat tertentu, bahkan pimpinan universitas sendiri. Kebebasan akademik juga ditegaskan dalam Komentar Umum Nomor 13 Komisi HAM PBB yang menekankan pentingnya otonomi institusi akademik. Dengan begitu, jika perguruan tinggi memiliki intensi lain di luar saintifik dan keilmuwan maka perlu dipertanyakan dimana keberpihakannya.
Kecurangan seperti ini juga bertentangan dengan integritas akademik yang berdampak pada penurunan kualitas dan kehormatan dari institusi perguruan tinggi sendiri. Setiap perguruan tinggi diharuskan memiliki komitmen dalam situasi apa pun untuk berpegang pada enam nilai dasar, yaitu kejujuran, kehormatan, kepercayaan, keadilan, tanggung jawab, dan keberanian. Pada prosesnya sendiri, pemberian gelar doktor honoris causa ini sudah bertentangan dengan nilai kejujuran maupun kehormatan. Marwah akademis sudah tidak dijalankan lagi dan bergeser pada lingkup material yang tidak ada hubungannya dengan integritas akademik. Tridharma perguruan tinggi hanya sebatas konsep ideal yang tidak dijalankan.
Praktik tersebut juga dapat menjadi ukuran bahwa negara sudah terlalu banyak ikut campur dalam pengelolaan perguruan tinggi negeri dan memperparah budaya akademis menjadi sangat birokratis. Menurut Abdil Mughis Mudhoffir, Dosen Departemen Sosiologi UNJ, situasi ini mendorong para akademisi berorientasi untuk berlomba mengejar jabatan bahkan posisi struktural di luar kampus. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi kemudahan kepada pejabat publik atau politisi menempuh studi atau dengan memberi gelar kehormatan di perguruan tinggi. Dalam tataran etik, perguruan tinggi yang seperti ini telah melakukan tindakan amoral secara institusional yang menciderai kepercayaan akademisi dan masyarakat. Pembudidayaan praktik tersebut menjadi pelemahan dari perguruan tinggi dan kemunduran atas iklim akademis yang berbasis riset serta pengembangan keilmuwan. ()