Bantuan Hukum Dalam Kerangka Demokrasi Indonesia

Oleh: Josua Satria Collins

(Internship Advokat Konstitusi)

Indonesia mengenal adanya layanan bantuan hukum melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dalam beleid tersebut, bantuan hukum diartikan sebagai jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada orang atau kelompok orang miskin. Layanan ini menjadi bentuk tanggung jawab negara memberikan akses terhadap keadilan bagi orang miskin.

Bantuan hukum merupakan instrumen penting dalam demokrasi. Menurut Zen (2019), prinsipnya pemenuhan hak atas bantuan hukum di negara-negara demokrasi memiliki dua fungsi pokok, yaitu:

  1. Menyediakan perlindungan dan pemenuhan persamaan setiap orang di muka hukum, termasuk mewujudkan peradilan yang adil (fair trial);
  2. Memajukan dan berkontribusi terhadap agenda kesejahteraan sosial pemerintah dan program pembangunan negara, seperti program peningkatan kesejahteraan buruh, tenaga kerja, kewirausahaan, dan kepemilikan.

Jack Donnelly mengatakan bahwa, “Democracy and human rights share a commitment to the ideal of equal political dignity for all.” (Donelly, 2003) Sejalan dengan itu, Montesquieu dalam buku “De l’esprit des lois” mengatakan bahwa apabila warga negara tidak mempunyai perlindungan untuk membela diri dalam kesalahannya, maka warga negara tidak mempunyai perlindungan pula dalam mempertahankan kemerdekaannya (Hendra, 2010).

Von Briezen memberikan perspektif lain mengenai pentingnya bantuan hukum bagi masyarakat demokratis. Ia mengatakan, “Legal aid was vital because it keeps the poor satisfied, because it establishes and protects their rights. It is the best agreement that the poor have rights which the rich are bound to respect.” Hendra (2010) menyatakan bahwa sesungguhnya, bantuan hukum dapat menjawab kecemburuan sosial orang miskin terhadap orang kaya melalui pembelaan nasibnya dalam bidang hukum. Orang miskin menjadi puas dan secara tidak langsung menciptakan angkatan kerja yang lebih mampu dan produktif. Bantuan hukum menjadi safety valve untuk mencegah pergolakan sosial dan mengurangi jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Tentunya, jurang pemisah kaya dan miskin selalu menjadi ancaman bagi keadilan sosial dan kehidupan demokrasi (Hendra, 2000).

Nyatanya, layanan bantuan hukum di Indonesia masih jauh dari optimal. Saat ini, jumlah organisasi bantuan hukum (OBH) hanya sebanyak 524 lembaga dengan 4.300 Advokat dan 3.957 Paralegal (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2019). Sementara itu, Badan Pusat Statistik mencatat data jumlah penduduk di Indonesia hingga September 2020 sebanyak 270,2 juta jiwa. Jika kita melihat proyeksi secara sederhana, jumlah ini tentu masih dinilai kurang dari kebutuhan bantuan hukum yang ada di masyarakat.

Tidak hanya itu, secara persebaran pun tidak merata. Secara Provinsi, OBH ini terpusat di wilayah-wilayah besar di Jawa. Bahkan, jika kita tarik dalam level Provinsi, jumlah OBH pun masih terpusat di wilayah kota, sedangkan masih sedikit di wilayah Kabupaten. Dengan kondisi seperti ini, OBH akan sulit diakses oleh masyarakat yang membutuhkan.

Maka dari itu, diperlukan upaya untuk mengoptimalisasikan penyelenggaraan bantuan hukum, baik dalam tataran aturan/kebijakan maupun dalam mekanisme penerapan kebijakan bantuan hukum. Dalam tataran regulasi perlu dilakukan deregulasi dan debirokratisasi terkait persyaratan pemberi bantuan hukum. Pemerintah perlu membuka pintu seluas-luasnya kepada siapapun yang memiliki minat dan kemampuan untuk memberikan layanan bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum yang membutuhkan, khususnya paralegal dan mahasiswa hukum. ()