Oleh: Clarrisa Ayang Jelita
(Internship Content Creator @advokatkonstitusi)
Pada 18 Januari 2023, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Richard Elizer Pudhiang Lumiu (Bharada E) 12 tahun penjara dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). JPU menilai bahwa Bharada E merupakan eksekutor utama dalam pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J). Penilaian JPU didasarkan pada fakta bahwa Bharada E memang menembakkan senjata Glock 17 ke arah tubuh korban dengan luka sebanyak 3 dan 4 kali di daerah vital yaitu bagian antara dada kiri. Kemudian, tembakan tersebut disimpulkan menjadi penyebab meninggalnya Brigadir J. Hakim PN Jaksel menjatuhkan vonis hukuman 1 tahun 6 bulan penjara terhadap Bharada E pada 15 Februari 2023.
Angka tersebut sangat jauh dari tuntutan JPU dan Hukuman tersebut paling ringan diantara hukuman pihak lain yaitu yang terlibat dalam pembunuhan berencana Brigadir J. Pertama, Ferdy Sambo yang dianggap sebagai dalang atau pelaku utama dari pembunuhan berencana terkait dijatuhi vonis hukuman mati. Kedua, Candrawathi dijatuhi vonis hukuman 20 tahun selaku istri dari ferdy sambo dinilai oleh hakim turut serta dalam perencanaan pembunuhan. Ketiga, Kuat Ma’ruf yang merupakan asisten rumah tangga Ferdy Sambo mendapatkan vonis hukuman 15 tahun penjara oleh hakim. Angka tersebut lebih tinggi dari tuntutan JPU yang hanya 8 tahun penjara. Hakim menyimpulkan Kuat Ma’ruf terlibat dalam perencanaan pembunuhan yaitu dengan menutup pintu jendela rumah TKP untuk meredam suara tembakan. Yang terakhir, Ricky Rizal mendapatkan vonis hukuman 13 tahun penjara.
Berdasarkan perbandingan vonis hukuman yang diterima oleh setiap terpidana dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, maka muncul pertanyaan mengapa Bharada E yang merupakan eksekutor dalam pembunuhan terkait malah mendapat hukuman paling ringan. Pada saat pembacaan vonis hukuman, majelis hakim sendiri menyimpulkan bahwa mereka menilai Bharada E sengaja membunuh Brigadir J dan tidak berusaha melakukan penggagalan rencana pembangunan tersebut. Kesimpulan majelis hakim didasarkan pada rangkaian peristiwa yang terungkap dalam persidangan. Bharada E menyatakan “siap komandan” ketika Ferdy Sambo menanyakan kesiapannya untuk eksekusi pembunuhan Brigadir J. Kemudian, Bharada E juga menambahkan peluru dalam senjata Glock 17 miliknya sesuai dengan permintaan Ferdy Sambo.
Jika melihat dari pertimbangan majelis hakim, maka timbul pertanyaan besar mengapa vonis hukuman Bharada E begitu rendah dibandingkan terpidana lainnya dan begitu jauh dibandingkan tuntutan JPU. Majelis hakim menyampaikan bahwa ada 4 alasan dari pemberian keringanan untuk Bharada E dalam pembacaan putusan. Pertama, Bharada E mendapatkan permintaan maaf dari keluarga Brigadir J. Kedua, Status Bharada E yang menjadi Justice Collaborator yaitu pelaku sekaligus saksi yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap pembunuhan Brigadir J. Ketiga, Bharada E berperilaku sopan selama persidangan. Yang terakhir, Bharada E belum pernah dijatuhi hukuman pidana sebelumnya.
Bharada E memang merupakan Justice Collaborator dalam kasus kematian Brigadir J dan mengajukan perlindungan diri sebagai saksi ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Justice Collaborator dapat dipahami sebagai status terdakwa sekaligus saksi yang membantu penegak hukum untuk membongkar kebenaran dibalik suatu kasus yang rumit. Justice Collaborator memiliki beberapa dasar yuridis yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
UU PSK mengatur beberapa hak dari Justice Collaborator yaitu mendapatkan keringanan penjatuhan pidana, pembebasan bersyarat, dan pemberian remisi tambahan. Justice Collaborator berhak mendapatkan hukuman pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara terkait. Namun, perlu diketahui bahwa Justice Collaborator sudah diterapkan dalam kasus lainnya jauh sebelum kasus pembunuhan Brigadir J. Contohnya kasus Tommy Sumardi yang menjadi Justice Collaborator dalam suatu tindak pidana korupsi dan mendapatkan tuntutan 1,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan dari JPU. Namun, hakim menjatuhkan vonis hukuman lebih dari yang diminta oleh JPU atau ultra petita yaitu 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Kasus lainnya seperti kasus Irman yang terlibat dalam korupsi e-ktp dan menjadikan dirinya sebagai Justice Collaborator juga mendapatkan tuntutan yang tinggi dari JPU yaitu 7 tahun penjara. Sedangkan vonis yang dijatuhkan oleh hakim lagi lagi lebih berat dari yang diminta JPU yaitu 12 tahun. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa menjadi Justice Collaborator tidak serta merta membuat hukuman pelaku menjadi sangat ringan. Sehingga, hukuman yang diberikan kepada Justice Collaborator seharusnya tidak terlalu jauh dari dakwaan yang diajukan oleh JPU. Bahkan beberapa kasus Justice Collaborator mendapat hukuman ultra petita atau lebih berat dari yang didakwakan oleh JPU.
Dalam Pasal 28 ayat (2) UU PSK terdapat berbagai tindak pidana tertentu yang mengatur terkait Justice Collaborator seperti tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun lainnya yang bersifat terorganisir. Pihak Kejaksaan Agung Republik Indonesia menganggap bahwa pelaku pembunuhan tidak dapat menjadi Justice Collaborator berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU PSK tersebut. Selain itu Undang Undang tidak mengatur secara rinci mengenai berapa tahun potongan hukuman yang diberikan kepada Justice Collaborator. Hakim hanya diminta untuk memberikan keringanan hukuman dan hukuman paling rendah dari terpidana lain dalam kasus terkait sepanjang memutusnya menimbang dan memperhatikan rasa keadilan.
Timbul perasaan tidak adil saat mengetahui Bharada E mendapat keringanan hukuman yang sangat jauh dari dakwaan JPU yaitu 1 tahun 6 bulan. Mengingat Bharada E merupakan eksekutor dari pembunuhan berencana Brigadir J dengan menembakkan senjata Glock 17 ke arah tubuh korban dengan luka sebanyak 3 dan 4 kali di daerah vital yaitu bagian antara dada kiri. ()