Bintang-bintang Berguguran: Golden Moment Reformasi Polri
Publik tak henti dikejutkan dengan berbagai tindakan oknum kepolisian yang mencoreng institusi tri barata. Diamanatkan sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, yang ditampilkan Polri justru kerap bertentangan. Kita awalnya berprasangka baik bahwa rentetan kejadian tersebut merupakan tindakan oknum tertentu. Namun kita justru menemukan tindakan tersebut terjadi secara terorganisir dengan rantai komando yang jelas.
Seperti kata pepatah, “ikan busuk dari kepalanya”. Seperti itu juga Lingkaran terorganisirnya “OKNUM” yang mencederai kehormatan Polri. Mulai dari kasus yang menjadi sorotan publik hingga yang tak menarik atensi publik karena dianggap “kecil”. Pasca kasus Ferdy Sambo, tragedi di Kanjuruhan kini giliran kasus oknum petinggi Polri yang diduga terlibat memperdagangkan barang bukti sitaan berupa narkoba jenis sabu.
Divisi Profesi dan Pengamanan (Div Propam) Polri pada Jumat, 14 Oktober 2022 menangkap Kapolda Sumatera Barat Irjen. Pol. Teddy Minahasa Putra, S.H., S.I.K., M.H. (Irjen Teddy Minahasa) karena diduga terlibat dalam kasus perdagangan narkoba. Penangkapan Teddy merupakan hasil pengembangan kasus Polda Metro Jaya setelah berhasil menangkap tiga orang terkait kasus narkoba di Sumatera Barat. Selain itu, terdapat seorang Bripka, seorang Kompol yang menjabat sebagai Kapolsek, dan seorang AKBP yang merupakan mantan Kapolres Bukittinggi, Sumatera Barat juga turut terlibat dalam kasus ini.
Kasus ini berujung pada pembatalan proses mutasi jabatan baru Teddy sebagai Kapolda Jawa Timur yang akan menggantikan Irjen Nico Afinta. Teddy juga dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda Sumatera Barat karena telah tetapkan sebagai Tersangka.
Berdasarkan keterangan Direktur Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Mukti Juharsa, Teddy diduga terlibat dalam perdagangan barang bukti sabu seberat 5 (lima) kilogram. Barang bukti tersebut didapatkan dari kasus narkoba yang diungkap Kepolisian wilayah Sumatera Barat akhir Mei 2022 lalu. Dari kasus tersebut 41,4 kilogram jenis sabu dengan nilai Rp62,1 Miliar disita untuk dimusnahkan, akan tetapi 5 (lima) kilogram barang bukti tersebut tidak dimusnahkan justru diganti menjadi tawas kemudian diperdagangkan.
Kasus ini menunjukkan betapa lemahnya pengawasan terhadap tata kelola barang bukti, khususnya barang bukti berupa narkoba. Lantas sebenarnya bagaimana tata kelola barang bukti hasil tindak pidana dilakukan?
Aturan KUHAP
Secara umum tata kelola barang bukti, khususnya barang bukti sitaan yang menjadi payung hukumnya adalah KUHAP, khususnya Pasal 38-46 KUHAP.
Terkait penyimpanan barang bukti tersebut Pasal 44 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.” Kemudian pada Pasal 44 ayat (2) juga dijelaskan bahwa penyimpanan benda sitaan tersebut dilaksanakan sebaik-baiknya dengan tanggung jawab ada pada pejabat yang berwenang, sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Disebutkan pula bahwa benda sitaan dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun.
Untuk keperluan pembuktian perkara pidana, penyimpanan barang bukti diatur lebih spesifik dalam Pasal 26-28 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Prosedur Pemusnahan
Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pada dasarnya mengatur bahwa pemusnahan barang sitaan dilakukan oleh penyidik BNN dan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, berdasarkan penetapan Kepala Kejaksaan Negeri setempat, serta berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pemusnahan yang termasuk di dalamnya adalah pemusnahan sisa hasil pengujian sampel laboratorium, yang telah digunakan untuk pengembangan ilmu teknologi, pendidikan dan pelatihan.
Pengawasan Terhadap Penyidik
Apabila terdapat peristiwa yang bersifat khusus, berdasarkan Pasal 26 ayat (3) Perkapolri Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka dapat dibentuk tim pengawasan. Yang dimaksud peristiwa yang bersifat khusus antara lain, adanya laporan atau ditemukannya penyimpangan, penyalahgunaan barang bukti, hilangnya barang bukti, dan adanya bencana yang bisa mengakibatkan barang bukti hilang atau rusak.
Lebih spesifik, Pasal 42 ayat (1) Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana menyatakan bahwa apabila hasil pengawasan penyelidikan dan penyidikan ditemukan pelanggaran dalam proses penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik dan/atau Penyidik Pembantu, maka dilakukan:
- Pembinaan, apabila melakukan pelanggaran prosedur;
- Proses penyidikan, apabila ditemukan dugaan pelanggaran tindak pidana; atau
- Pemeriksaan pendahuluan, apabila ditemukan pelanggaran kode etik dan disiplin.
Reformasi Polri
Rangkain peristiwa mulai dari kasus Ferdy Sambo, tragedi di Kanjuruhan, hingga kasus narkoba yang melibatkan petinggi Polri seharusnya dapat menjadi momentum emas bagi Polri untuk melakukan reformasi. Reformasi tersebut harus membersihkan Polri dari oknum-oknum nakal, yang tidak hanya melemahkan kinerja Polri tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri, sehingga Polri tidak lagi berlindung di balik kata “Oknum”. ()