Oleh: Fitrah Bukhari (founder @advokatkonstitusi)
Mario Dandy mungkin tak pernah membayangkan perilaku arogannya menganiaya David Ozora memiliki efek Panjang. Perilaku tersebut memancing netizen untuk “mengaudit” kehidupan pribadi, hingga keluarganya. Audit tersebut pada akhirnya bermuara pada pemecatan ayahnya, Rafael Alun Trisambodo dari Kementerian Keuangan dikarenakan diduga memiliki harta yang tidak wajar. Audit netizen tak berhenti di keluarga Dandy, justru semakin merembet ke kementerian lain. Sebutlah kepala Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono, yang harus mengklarifikasikan hartanya ke KPK. Juga ada Kasubbag Administrasi Kendaraan Biro Umum Kemensetneg yang dinonaktifkan dari jabatannya akibat kebiasaan istrinya yang suka flexing di media sosial.
Melihat begitu besarnya efek Mario Dandy, bagaimana sesungguhnya aturan hukum Indonesia mengatur perilaku ASN dalam bermedia sosial? Lantas perlukah kita mengatur etika bagi penyelenggara negara dalam sebuah UU?
Butterfly Effect Mario Dandy
Seperti diungkap dalam paragraf awal essay ini, Mario Dandy tak akan pernah membayangkan penyiksaannya pada David Ozora akan berdampak panjang bagi keluarga, bahkan negara. Peristiwa ini sejatinya dikenal dengan istilah butterfly effect (efek kupu-kupu). Menurut APA Dictionary of Psychology, sebagaimana dikutip dari detikcom, butterfly effect atau efek kupu-kupu adalah suatu kecenderungan sistem yang kompleks dan dinamis agar lebih peka terhadap suatu kondisi awal yang mungkin berubah karena hal-hal kecil. Butterfly effect terjadi ketika sebuah tindakan atau hal kecil terjadi dan mempengaruhi sesuatu sehingga menimbulkan efek besar dan sulit diprediksi. Dalam teori ini, kepakan sayap kupu-kupu di Jakarta, akan dapat menyebabkan tornado di Makassar, misalnya.
Istilah butterfly effect sendiri lahir dari pengamatan ahli meteorologi soal cuaca. Namun, konsep ini kemudian diadopsi dalam ilmu psikologi untuk memahami sifat kehidupan yang secara alami memang sering kacau. Kekacauan itu kerap disebabkan hal-hal kecil yang awalnya tidak disadari. Dari sini, manusia belajar untuk berhati-hati dalam bertindak karena langkah sekecil apa pun bisa memberikan efek besar yang tidak diduga-duga. Dalam kasus ini, contoh perilaku Mario Dandy ternyata mengakibatkan guncangan di berbagai kementerian
Problematika Pengaturan Etika ASN
Sebenarnya negara telah mengatur dengan baik regulasi perihal Aparatur Sipil Negara (ASN). Semangat awal ASN dibentuk dalam rangka mewujudkan cita-cita serta tujuan negara sesuai amanat pembukaan UUD NRI Tahun 1945. ASN seharusnya mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat serta menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk mewujudkan hal tersebut, negara telah membentuk UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN (UU ASN).
Dalam regulasi tersebut, ASN diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan Pegawai ASN. Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social development) yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat.
Dalam menjalankan profesinya, ASN telah diberi rambu berupa beberapa prinsip yang salah satunya adalah kode etik dan kode perilaku. Hal ini bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN. Dalam tataran pelaksanaannya, kode etik ASN ini dijabarkan dengan PP No. 42 tahun 2004 tentang Kode Etik ASN. Mengenai perilaku pamer harta di media sosial, hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 10 PP tersebut yang mengatur tentang etika dalam bermasyarakat yang meliputi: mewujudkan pola hidup sederhana. Aparatur Sipil Negara (ASN) harus dapat berperan dalam membangun suasana kondusif di media sosial, yang dewasa ini telah menjadi sarana komunikasi yang sangat dinamis. Oleh karena itu, dalam menggunakan media sosial pegawai ASN harus menjunjung tinggi nilai dasar, kode etik dan kode perilaku ASN.
Dalam mengawal perilaku ASN di media sosial, sebenarnya MenPANRB telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 137/2018 tentang Penyebarluasan Informasi Melalui Media Sosial bagi ASN. Walaupun semangat dari SE ini adalah awalnya untuk mencegah penyebaran hoax dan radikalisme di tataran ASN, aturan ini dipandang cukup untuk menjadi pedoman bagi ASN dalam berkegiatan di media sosial. Dari delapan point SE tersebut terdapat poin yang memerintahkan ASN untuk menggunakan media sosial secara bijaksana serta mengarahkan pada memperkuat persatuan dan kesatuan NKRI.
Etika Penyelenggara Negara
Sampai saat ini, kajian mengenai etika dalam dunia hukum mulai mengemuka. Hal ini dikarenakan banyaknya tuntutan, hukum tidak dapat dipandang secara an sich, sehingga harus menghadirkan etika. Hubungan antara keduanya di samping bersifat luas-sempit, juga bersifat luar-dalam, bukan atas-bawah atau vertikal. Agama adalah sumber etika, etika adalah hukum. Jika hukum adalah jasad, maka etika adalah rohnya yang berintikan nilai-nilai agama. Hukum tidak boleh terlepas dari rohnya, yaitu etika keadilan.
Menurut Magnis Suseno, Etika sejatinya terbagi ke dalam dua jenis yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia. Adapun etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup kehidupannya. Magnis kemudian menjelaskan perbedaan etika individual yang mempertanyakan kewajiban manusia sebagai individu, terutama terhadap diri sendiri. Adapun etika sosial lebih jauh dari itu, yakni hampir semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan makhluk sosial. Etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antarmanusia (Magnis: 1991, 13)
Urgensi UU Etika Penyelenggara Negara
Pembentukan sebuah UU, tidak hanya datang dari politik hukum para pembentuknya, namun juga merupakan respon atas sesuatu kejadian yang belum memiliki dasar hukumnya. Beberapa kejadian di atas, merupakan momentum yang tepat untuk kembali menggulirkan RUU tentang Etika Penyelenggara Negara yang sempat masuk dalam prolegnas 2014-2019. Esensi yang harus dimasukkan dalam RUU ini adalah menaikkan norma untuk mewujudkan pola hidup sederhana di dalam PP kode etik menjadi norma UU ini. Hal ini merupakan esensi dari permasalahan yang terjadi belakangan, sehingga kejadian flexing di media sosial oleh ASN tidak terjadi.
selain itu, regulasi ini nantinya diharapkan tidak hanya mengatur tentang etika penyelenggara negara, namun juga mengatur tentang etika kepada keluarga penyelenggara negara. Ke depan, perlu dipertimbangkan untuk memberikan ASN tanggungjawab tambahan selain diberikan berupa peningkatan profesionalisme dalam pekerjaan, juga diberikan tanggungjawab untuk mengawasi perilaku keluarga masing-masing di media sosial.
Dengan dibentuknya RUU ini, diharapkan akan menjadi payung hukum yang terpadu dari berbagai instansi penyelenggara negara. RUU ini diharapkan dapat melembagakan etika penyelenggara negara yang mengikat dalam satu sistem terpadu dan terintegrasi. Harapannya dengan hadirnya UU ini akan menjadi rule of the game sekaligus how play the game dari penyelenggara negara. Selain diharapkan juga dapat menjamin hadirnya birokrasi yang melayani dengan baik kepentingan masyarakat, karena menjadikan satu tarikan nafas antara rule of law and rule of ethics secara bersamaan.
Dengan memanfaatkan momentum butterfly effect Mario Dandy ini, guncangan yang dihasilkan akan lebih terarah pada perbaikan tata kelola manajemen ASN. sehingga kita dapat memiliki regulasi etika penyelenggara negara. sehingga dapat menghasilkan penyelenggara negara memiliki integritas dan profesionalisme yang tinggi. ()