oleh: Risa Pramiswari
Internship Advokat Konstitusi
Istilah cancel culture sedang menjadi tren dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Secara sederhana, cancel culture berarti “budaya pengenyahan”, “budaya penolakan”, atau “boikot massal”. Umumnya, istilah ini digunakan untuk mengekspresikan penolakan atau berhenti memberi dukungan terhadap seseorang yang biasanya berprofesi sebagai seorang publik figur karena dianggap tidak pantas atau mereka telah berbuat sesuatu kesalahan maupun kekeliruan. Maraknya penggunaan media sosial mengakibatkan cancel culture tidak hanya ditujukan kepada publik figur, tetapi juga pejabat publik yang kerap kali dianggap tidak cakap melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Mencari pejabat publik yang amanah itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami, sulit untuk ditemukan. Isu mengenai moral memang masih menjadi persoalan pelik yang melekat pada pejabat publik dan belum bisa dituntaskan. Faktor penyebabnya pun bermacam-macam, seperti aturan yang multitafsir, aparat penegak hukum yang lemah, konflik kepentingan oknum tertentu, dan lain sebagainya. Sejarah mencatat Indonesia telah berhasil melaksanakan pemilihan umum (pemilu) yang paling demokratis pada tahun 1955 dan pemilu selanjutnya akan dilaksanakan tahun 2024 untuk memilih pejabat publik yang nantinya akan menempati posisi tertentu dalam pemerintahan, tentunya masyarakat berharap pilihannya akan berbuah manis dan dapat menjalankan amanah yang seharusnya. Namun, masyarakat justru seringkali tertipu dengan berbagai macam topeng yang dikenakan oleh calon pilihannya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pejabat publik yang tersandung kasus pidana, seperti: Juliari Batubara—Mentri Sosial yang mengorupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19, Azis Syamsuddin—Wakil Ketua DPR yang divonis 3,5 tahun penjara karena suap, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Sungguh ironi, pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan justru berbuat sebaliknya. Pada tahun 2019, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan judicial review terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang dinilai memberikan peluang mantan narapidana untuk mengulangi perbuatannya karena tidak ada pembatasan jangka waktu tertentu bagi narapidana untuk maju dalam pemilu. Pada Rabu (11/12/2019), Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka 65 waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hakim Konstitusi sependapat dengan apa yang disampaikan oleh pemohon, melalui pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi, Suhartoyo, MK menyampaikan bahwa apabila tidak ada waktu yang cukup untuk beradaptasi dan membuktikan diri dalam masyarakat tidak sedikit dari para narapidana tersebut mengulang kembali tindak pidana yang sama sehingga sulit untuk menghadirkan sosok pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas.
MK menegaskan bahwa masa tunggu dan lamanya tenggat waktu harus diberlakukan terhadap narapidana yang ingin mengajukan diri dalam pemilu. MK konsisten untuk berpedoman pada pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, yaitu bagi calon kepala daerah yang telah selesai menjalani masa pidana diharuskan menunggu waktu selama 5 (lima) tahun untuk dapat mengajukan diri menjadi calon kepala daerah. MK berendapat bahwa jangka waktu 5 (lima) tahun sesuai dengan mekanisme lima tahunan dalam pemilu di Indonesia, baik pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Mengapa tidak sekalian saja mantan narapidana diboikot dari pemerintahan?
Hakim Konstitusi, Suhartoyo, menyampaikan bahwa terkandung dua kepentingan konstitusional dalam ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, yaitu: kepentingan orang-perorangan yang memiliki hak untuk dipilih dalam suatu jabatan publik dan kepentingan masyarakat umum yang berhak untuk mendapatkan calon pemimpin yang berintegritas. Lebih lanjut, Suhartoyo menyampaikan bahwa MK memilih untuk melindungi kepentingan masyarakat umum dan Ia menekankan bahwa dalam proses berdemokrasi, tidak semata-mata mendahulukan sosok yang dipilih rakyat melalui suara terbanyak, tetapi sosok yang mampu mensejahterakan masyarakatnya.
Menurut hemat penulis, cukup sulit untuk mewujudkan cancel culture terhadap pejabat publik secara terang-terangan dalam aturan tertulis karena publik meyakini setiap orang layak untuk kesempatan kedua dan acapkali dianggap bertentangan dengan HAM, khususnya pada Pasal 28D Ayat (3) dan 28I Ayat (2) yang mengatur bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan setiap orang bebas dari sikap diskriminasi. Di sisi lain, masyarakat hendaknya harus bisa jeli menilai calon pilihannya apakah memiliki rekam jejak yang baik atau buruk sehingga pemilih dapat terhindar dari calon pejabat publik yang tidak layak.
()