Carut Marut Penetapan Upah

Oleh: Joshua Lee

Tiap menjelang akhir tahun, salah satu isu seksi untuk dibahas pastilah mengenai tuntutan kenaikan upah minimum oleh kelompok Pekerja kepada pemerintah. Sama seperti tahun ini. Rasanya, kita semua tahu bersama bahwa sejak Oktober 2022, kelompok Pekerja meminta kenaikan upah hingga 13% (tiga belas persen). 

Bak gayung bersambut, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 (Permenaker Upah 2023) yang membuat ruang bagi para pekerja untuk mendapatkan tambahan upah sebesar 10% (sepuluh persen) dari tahun ini, walaupun memang masih harus menunggu instrumen hukum di masing-masing daerah lahir. Tetapi, walau memang belum sesuai dengan permintaan kelompok Pekerja, namun harus diakui angka ini cukup besar dalam beberapa tahun terakhir. Jika kita mengambil dan melihat data kenaikan upah DKI Jakarta saja, dalam tiga tahun terakhir, kenaikan upah tidak pernah mencapai 8,5% (delapan koma lima persen) tiap tahunnya.

Sayangnya, Permenaker ini seperti berbeda dengan apa yang ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (PP Pengupahan). Dalam PP tersebut acuan dari penghitungan upah diatur dalam Pasal 26 ayat (5) dengan rumus yang sedemikian rupa. Penulis mencoba menghitungnya dengan menggunakan acuan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dan didapatkanlah bahwa jika menggunakan acuan tersebut, maka kenaikan upah minimum sebenarnya mungkin di angka 5% – 6%.

Memang harus diakui bahwa Permenaker Upah 2023 hanya menyebutkan bahwa angka 10% tersebut hanyalah angka maksimal, artinya ada peluang kenaikan antara 0,1% hingga 10%. Tapi tentunya hal ini menimbulkan kebingungan di masyarakat mengingat adanya dua instrumen hukum mengenai penghitungan upah, yaitu PP Pengupahan 2021 dan Permenaker Upah 2023. Apalagi Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri sendirilah yang menyebutkan bahwa terdapat perubahan formula penghitungan upah. Anehnya, jika kita membaca dasar mengingat Permenaker Upah 2023, maka salah satu dasarnya ialah PP Pengupahan yang jelas mengatur dengan mekanisme yang berbeda. Lagi-lagi disharmonisasi hukum terus terjadi di lapangan.

Padahal, salah satu alasan dikeluarkannya PP Pengupahan 2021 ialah untuk menghilangkan berbagai macam gejolak terkait permintaan kenaikan upah tiap tahunnya dengan cara membuat suatu angka baku agar kenaikan upah tiap tahun tidak perlu menghabiskan energi. Sayangnya, hal itu dirusak oleh pihak pembuatnya sendiri. Belum lagi jika kita lihat banyaknya pemberitaan mengenai eksodus pabrik industri besar dari wilayah Jabodetabek, Banten, dan Jawa Barat yang memiliki ketentuan upah tinggi menuju Jawa Tengah yang rata-rata memiliki ketentuan upah yang rendah, artinya potensi meningkatnya angka pengangguran di wilayah eks pabrik tersebut pun akan meningkat.

Maka dari itu mengenai pengubahan mekanisme ini seharusnya dipikirkan secara bijak. Jika pun memang ingin mengubah mekanisme penghitungan, bukannya harus mengubah PP Pengupahan? Bukannya menambah instrumen Permenaker Upah 2023 tersebut? Memang mungkin, kita terlalu jago menjadi tukang dan teknisi hukum tapi lupa dengan cara implementasinya.

  ()