Oleh: Fayasy Failaq
(Content Creator Advokat Konstitusi)
Dalam budaya timur, membangun keluarga adalah sama dengan membangun generasi. Sehingga dengan demikian sering kali banyak anak dikonotasikan sebagai pertanda kemakmuran serta menggambarkan lingkup keluarga besar yang cakap secara sosial. Dalam beberapa tradisi bahkan memberikan penghargaan marga kepada anak untuk menggambarkan bahwasanya anak tersebut adalah bagian dari keluarga besar pada satu sisi, dan pada sisi lain sebagai generasi penerus yang akan membawa nama besar keluarganya.
Pandangan sebagaimana dalam paragraf pertama tersebut dianut oleh mayoritas pasangan suami-istri yang hendak memiliki keturunan. Terlebih dengan penganut agama semitik di Indonesia yang menjanjikan ada timbal balik yang positif dengan hadirnya seorang anak. Pada sisi lain, dalam heterogen-nya suku dan budaya di Indonesia, terdapat keinginan primordial untuk memperluas ranah kekerabatan dengan suku atau budaya lain, atau memperbanyak jumlah keluarga secara kuantitas.
Dengan paradigma umum yang demikian, anggapan untuk tidak menikah atau menikah dengan keinginan tidak memiliki anak (childfree) dianggap sebagai suatu penyimpangan. Namun demikian, kampanye atau setidaknya statement untuk memilih jalan itu tetap disuarakan oleh beberapa orang di Indonesia dengan rasionalisasi hak privat seorang manusia. Seperti hal-nya seorang influencer Gita Savitri beserta suami yang menyatakan keinginan untuk tidak memiliki anak dengan dalih memiliki anak atau tidak adalah pilihan dan bukan kewajiban.
Selain Gita Savitri, terdapat beragam pasangan suami-istri lainnya yang memilih untuk tidak memiliki anak dengan alasan kekhawatiran akan over populasi yang terus meningkat apabila mereka turut membuat keturunan. Pada dasarnya hal ini berangkat dari tujuan yang baik, namun dalam kultur Indonesia pandangan seperti ini tidak mudah diterima oleh publik. Untuk itu penting apabila kita menggali hal ini dari dua dimensi, dimensi personal yang memiliki kepentingan subjektif untuk tidak memiliki anak, serta dimensi publik yang memiliki agenda kontrol atas over populasi.
Dalam data yang dipublikasi oleh Worldometer pada tahun 2021 sudah terdapat 7,8 miliar manusia yang menjadi penduduk dunia. Hal ini jauh meningkat pesat daripada data yang pertama kali dikemukakan terkait jumlah penduduk dunia yang hanya berjumlah 125.000 pada satu juta tahun yang lalu, kemudian tercatat pula pada saat berdirinya PBB jumlah penduduk dunia hanya sejumlah 2,6 miliar, kemudian bertambah menjadi 5 miliar pada 1987, kemudian 6 miliar pada tahun 1999. Dalam buku How Many People Can The Earth Support karya Joel Cohen disebutkan catatan Leeuwenhoek seorang ahli geomteri yang mengatakan bahwasanya kawasan daratan bumi yang luasnya 13.385 kali luas negara Belanda ini hanya bisa menampung kurang dari 13.385 miliar manusia.
Sejalan pula dengan Thomas Robert Malthus, sumber pemikiran kelompok Malthusian dalam teori demografi yang telah terbukti pada era global saat ini yakni: Pertama, kemampuan alam dalam memproduksi tumbuhan serba terbatas. Kedua, manusia cenderung berkembang biak dengan suburnya. Ketiga, Perkembangan penduduk cenderung menghabiskan produksi pangan. Keempat, alam mengurangi jumlah penduduk melalui positive checks yaitu peperangan, kelaparan, kejahatan. Kelima, manusia dapat mengurangi angka kelahiran melalui preventive checks seperti dengan menunda kawin atau tidak kawin dan dengan menggunakan alat kontrasepsi dalam berhubungan. (Daldjoeni, 1981).
Begitu pula di Indonesia, pertumbuhan penduduk terjadi sangat drastis. Pada tahun 1971 jumlah penduduk hanya sebanyak 119,20 juta, kemudian pada tahun 1990 179,38 juta, dan pada tahun 2020 sejumlah 270,20 juta. Hal ini membuat pulau jawa menjadi pulau dengan penduduk terpadat di dunia dengan jumlah penduduk sebanyak 141 juta jiwa. Tentu amat berbahaya apabila kepadatan penduduk tersebut tidak dapat terkontrol dengan baik, hal-hal buruk seperti inflasi, polusi, kelaparan, dan lain sebagainya akibat dari meledaknya jumlah populasi.
Berkaitan dengan childfree serta over populasi yang memiliki korelasi ini setidaknya terdapat dua dimensi permasalahan yang harus terjawab pada pembahasan hukum. Pertama berdasarkan subjek suami-istri yang memilih untuk childfree maka terdapat rasionalisasi berupa hak privat yang tidak bisa sembarang disentuh oleh orang lain, kedua adalah berdasarkan subjek negara yang terwakili oleh pemerintah dalam agenda kebijakan publik untuk mengontrol kesejahteraan rakyat dalam hal kepadatan penduduk.
Dalam dimensi yang pertama, suami atau istri yang menyatakan kehendak untuk melakukan childfree pada dasarnya menyatakan pikiran serta sikapnya yang pada dasarnya merupakan pilihan privat dalam hal keluarga. Terkait dengan ini, dalam UUD NRI 1945 telah menjamin kebebasan seseorang untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 E ayat 2:
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”
Pada sisi lain suami-istri yang berangkat dari kontrak perkawinan tidak memiliki kewajiban untuk mempunyai anak. Hal ini bisa kita simpulkan dari makna perkawinan dalam UU No. 1 tahun 1974 berupa:
“….Ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.”
Dengan demikian yang menjadi kewajiban dari suami dan isteri dalam ikatan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dan dengan pemaknaan yang lebih sempit bukan untuk memiliki seorang anak. Berbeda halnya apabila suami dan isteri mempunyai anak, maka dalam hal hubungan keluarga mereka memiliki kewajiban baru untuk mendidik anak mereka sebaik-baiknya sebagaimana dalam Pasal 45 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974. Hal ini lah yang menjadi rasionalisasi dalam hal yuridis terkait pilihan untuk tidak memiliki anak bagi pasangan suami istri.
Terkait kebijakan publik, pemerintah sebagai representasi negara tidak perlu turut campur untuk mengurusi persoalan childfree karena pada dasarnya berada pada domain privat seseorang. Juga sebagai penganut demokrasi, tidak sepatutnya pula pemerintah mengatur atau merekomendasikan rakyat Indonesia untuk melakukan childfree karena berangkat pada nilai dan budaya Indonesia tidak akrab dan cenderung untuk menolak hal tersebut. Sekalipun pada masanya dibutuhkan kebijakan childfree pada wilayah rekomendasi, hal tersebut mesti berangkat dari pertimbangan sosiologis serta aspirasi dari masyarakat secara luas.
Dengan tanpa keinginan rakyat, maka akan terjadi potensi besar kebijakan yang keliru atau penyelewengan implementasi oleh masyarakat itu sendiri. Salah satu kebijakan yang keliru secara implementasi adalah yang terjadi di China yakni kebijakan one-child policy di China pada pemerintahan Deng Xiaoping yang diberlakukan pada tahun 1979-2015 dengan slogan “later, longer, fewer.” Pada mulanya kebijakan ini relevan karena berangkat dari kondisi China sebagai negara terpadat di dunia, bahkan bagi yang melanggar diberikan denda serta sanksi administratif, namun dalam implementasinya justru rakyat china menjadi sering melakukan praktik aborsi.
Selain childfree, banyak cara mengontrol kepadatan penduduk. Paling minimal adalah melalui edukasi yang bersifat preventif atau yang bersifat ramah lingkungan seperti ajakan untuk menjaga dan memelihara lingkungan secara baik -yang mana dalam hal ini lingkungan adalah variabel yang banyak terpengaruh akibat kepadatan penduduk, atau dapat melalui peran making policy melalui kebijakan secara langsung, dalam hal ini kebijakan secara tegas memang tidak bisa melarang secara langsung memproduksi anak, namun kebijakan yang tepat adalah kebijakan yang baik pada wilayah perlindungan lingkungan hidup serta peningkatan ekonomi individu.
Contoh kebijakan yang pernah diterapkan di Indonesia dalam permasalahan kepadatan penduduk adalah transmigrasi untuk meratakan persebaran penduduk dengan pendekatan ekonomi yang mana pada era orde baru yang diperkirakan sejumlah 174.000 orang dengan fokus penyebaran kepada luar Pulau Jawa. Selain itu pernah diterapkan pula kebijakan Keluarga Berencana (KB) yang sudah dirilis sejak era Soeharto yang mempunyai hasil yang cukup signifikan dengan penurunan angka kelahiran dari kisaran 4 persen hingga saat ini menurun hingga nyaris mencapai 2 persen. Sampai disini, pada dasarnya childfree adalah pilihan privat masing-masing persona yang didasari pada permasalahan overpopulasi yang dapat berdampak buruk bagi lingkungan, untuk itu harus hadir unsur negara melalui pemerintah untuk mengontrol permasalahan kepadatan penduduk dengan searif-arifnya. ()