Deepfake Pornography: Menilik Jerat Hukum Penyalahguna Deepfake Untuk False Pornography

oleh : Sepania Immanuella Magdalena Perpetua

Internship Advokat Konstitusi

Pendahuluan

Di masa dimana istilah hoax dan fakta alternatif selalu membayangi informasi yang kita dapatkan, “kebenaran” menjadi sesuatu yang seringkali menjadi pertanyaan. Salah satu teknologi yang mengundang perbincangan mengenai “kebenaran” ialah deepfake, suatu inovasi di bidang teknologi yang menggunakan kecerdasan buatan untuk memanipulasi video ataupun foto dengan cara mengambil foto seseorang untuk ditempelkan ke foto ataupun video orang lain secara realistis (Harris: 2018, Gieseke: 2020). 

Awalnya, deepfake digunakan oleh kelompok profesional untuk hiburan di media sosial maupun media massa, namun seiring berjalannya waktu teknologi tersebut semakin mudah diakses khalayak luas karena munculnya software maupun aplikasi yang bekerja serupa dengan teknologi tersebut, misalnya FakeApp, TensorFlow, DeepFaceLab, dan masih banyak lainnya. Kemudahan menggunakan teknologi tersebut ternyata tidak diiringi dengan kebijaksanaan untuk menggunakannya, deepfake kemudian seringkali digunakan untuk mengedit wajah seseorang kedalam video ataupun konten pornografi yang salah atau tanpa persetujuan (false pornography) (Harris: 2018), misalnya saja seorang pengguna Reddit yang mengedit wajah aktris Gal Gadot ke sebuah video porno (Cole: 2017).

Konstitusi RI dan Perlindungan Hak Asasi Manusia di Dunia Maya

Internet bukanlah ruang yang dikonseptualisasi sebagai ruang dimana orang-orang dapat berpekspektasi untuk memiliki privasi (Gieseke: 2020), walaupun begitu hal ini tidak dapat dijadikan alasan bagi hukum untuk tidak melindungi siapapun itu yang dilanggar hak atas privasinya karena menggunakan di internet. Hal ini pada dasarnya mengacu pada ketentuan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa:

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Dari ketentuan pasal tersebut, jelas bahwa konstitusi melindungi hak, harkat, dan martabat segenap warga negara Indonesia baik itu di dunia nyata maupun maya. Terlebih lagi dalam kasus false pornography karena penyalahgunaan deepfake yang tentunya menimbulkan rasa takut dan seringkali disertai ancaman yang berujung pada pelanggaran hak individu atas perlindungan diri, kehormatan, martabat, dan rasa aman.

Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang Dapat Digunakan dalam Kasus False Pornography Akibat Penyalahgunaan Deepfake

Hingga saat ini, Indonesia masih belum memiliki aturan hukum yang secara komprehensif dan spesifik membahas mengenai teknologi deepfake, namun pada dasarnya penyalahgunaan teknologi deepfake ̶ termasuk false pornography akibat penyalahgunaan deepfake ̶ tidak lepas dari kejahatan dunia maya (cybercrime) karena penyebaran dari hasil editan foto ataupun video deepfake dilakukan melalui dan dalam jaringan internet. Alhasil, peraturan yang dapat digunakan ialah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan informasi elektronik, kesusilaan, pornografi, serta defamasi. Berikut beberapa ketentuan yang penulis kompilasikan:

  • Berkaitan dengan Penyebaran Konten Asusila (UU ITE)

Berkaitan dengan penyebaran konten asusila, maka dapat digunakan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 11/2008) Jo. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 19/2016). Adapun ketentuan tersebut lebih menekankan pada orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan konten asusila dibandingkan menekankan pada menghukum editor/pelaku penyalahguna deepfake untuk konten asusila tersebut.

  • Berkaitan dengan Defamasi

Penyebaran konten pornografi dan asusila tersebut tentunya akan merugikan citra dan nama baik korban, sehingga dimungkinkan pula agar pelaku dijerat dengan pasal defamasi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU 11/2008 Jo. 45 ayat (3) UU 19/2016 Jo. Pasal 310-311 KUHP.

  • Apabila Penyebaran Konten False Pornography Akibat Penyalahgunaan Deepfake Didahului dengan Ancaman

Pornografi merupakan hal yang tabu dan dilarang oleh undang-undang, berkaitan dengan teknologi deepfake yang masih tergolong baru, tidak jarang masyarakat belum dapat mengidentifikasi hasil edit teknologi ini sehingga hal ini dapat saja dimanfaatkan pelaku untuk menakut-nakuti, mengancam, dan bahkan memeras korban. Oleh karenanya, berkaitan dengan hal ini, dapat digunakan Pasal 29 UU 11/2008 Jo. Pasal 45B UU 19/2016 yang memberikan ancaman pidana penjara dan/atau denda bagi setiap orang yang mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

  • Berkaitan dengan Pornografi (UU Pornografi)

Berkaitan dengan hal ini, dapat pula digunakan Pasal 4 ayat (1) Jo. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU 44/2008) yang memberikan ancaman pidana penjara dan/atau pidana denda bagi bagi orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: 

  1. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; 
  2. kekerasan seksual; 
  3. masturbasi atau onani; 
  4. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; 
  5. alat kelamin; atau 
  6. pornografi anak.

Penutup

Dahulu, teknologi deepfake hanya dapat digunakan segelintir profesional, sekarang khalayak umum dapat menggunakannya, dimasa yang akan datang teknologi ini dapat saja digunakan dalam hitungan detik dan sulit dibedakan dengan video asli. Oleh karenanya, selain keberadaan payung hukum yang tepat dan komprehensif, perlu ada langkah preventif guna mencegah pemanfaatan teknologi ini secara negatif dengan cara sosialisasi pemanfaatan teknologi dengan bijak dan bertanggungjawab. Tidak lupa, perlindungan dan rehabilitasi bagi korban false pornography penyalahgunaan teknologi ini harus dipertimbangkan dan didiskusikan lebih lanjut. ()