Oleh: Novi Huriyani
Beredar Mantan jurnalis lepas di Jawa Tengah yang bekerja selama belasan tahun di stasiun televisi TVRI ternyata adalah seorang anggota polisi. Selama ini, Umbaran Wibowo dikenal sebagai seorang jurnalis.
Ternyata, menjadi jurnalis adalah kedok Umbaran Wibowo yang sejatinya adalah seorang intel kepolisian. Pihak Polda Jawa Tengah pun dengan terang menyebut, Umbaran pernah 14 tahun bekerja sebagai kontributor TVRI Jawa Tengah.
Hal ini turut terungkap ketika Iptu Pol Umbaran Wibowo dilantik menjadi Kapolsek Kradenan, Blora, Jawa Tengah, pada Senin lalu, (12/12).
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam apa yang mereka sebut “praktik kotor” yang dilakukan aparat keamanan dalam menginfiltrasi atau menyusup ke institusi jurnalistik karena akan menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap pers yang menjunjung independensi dan imparsialitas. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencurigai, cara yang dilakukan Umbaran adalah satu dari banyak ‘praktik kotor’ yang dilakukan aparat keamanan menyusup ke institusi pers.
Menurut AJI, praktik yang “cukup marak terjadi dan berlangsung sejak Orde Baru tersebut” merupakan bentuk pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik dan juga UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Maka, AJI mendesak aparat keamanan dan institusi negara lainnya menghentikan cara tersebut, dan juga meminta media massa melakukan “bersih-bersih” pegawainya yang dicurigai berperan “ganda”.
“Ini cara kotor memanfaatkan organisasi dan institusi pers untuk mencari informasi. Praktik ini sudah berlangsung lama, mungkin sejak zaman Orde Baru, apalagi di masa konflik,” kata Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia, Kamis (15/12).
“Mengapa? karena intelijen paling mudah mengakses informasi dengan memanfaatkan profesi jurnalis sehingga bisa masuk ke kelompok masyarakat, narasumber kunci di tengah masyarakat,” tambahnya.
Selain kasus ini, Erick mengatakan, AJI juga mencatat bahwa cara serupa terjadi di tempat lain, seperti di Papua. Seorang aparat keamanan diketahui menyamar selama 10 tahun sebagai wartawan di kantor berita milik BUMN.
Cara tersebut, kata Erick, akan menimbulkan dampak buruk yang besar bagi ekosistem jurnalistik di Indonesia, khususnya ketidakpercayaan publik terhadap pers dan pemanfaatan institusi media untuk kepentingan tertentu.
Selain itu, infiltrasi itu juga merupakan bentuk pelanggaran atas kode etik jurnalistik yang menyebut “wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”, dan juga UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Dalam Pasal 6 UU Pers menegaskannya bahwa:
Pers nasional memiliki peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
“Oleh sebab itu, kepolisian jelas telah menempuh cara-cara kotor dan tidak memperhatikan kepentingan umum dan mengabaikan hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi yang tepat, akurat dan benar,” kata Erick.
Untuk itu, AJI mendesak aparat kepolisian dan institusi negara yang lain untuk menghentikan penyusupan personel intelijen mereka ke institusi pers dan meminta institusi media untuk melakukan “bersih-bersih” terhadap pegawainya yang dicurigai berperan “ganda”, serta melakukan seleksi ketat terhadap calon pegawainya.
Saat dikonfirmasi mengenai dugaan pelanggaran UU Pers dan kode etik jurnalistik yang dilakukan Umbaran, Iqbal mengatakan, ”Kami sangat menghargai keberadaan UU Pers soal independensinya. Terkait posisi yang bersangkutan di Dewan Pers masih dalam pendalaman Polda,” ujar Iqbal.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, Mabes Polri masih berkomunikasi dengan Polda Jawa Tengah terkait dengan apa yang dilakukan Umbaran.
Atas kejadian ini, AJI meminta organisasi profesi jurnalistik dan Dewan Pers untuk memperbaiki mekanisme pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dan melakukan verifikasi berkala kepada jurnalis.
Dewan Pers pun meminta institusi pers untuk tidak kembali “kebobolan” dan berhati-hati dalam memverifikasi latar belakang jurnalisnya.
Sementara itu, pihak TVRI mengakui bahwa Umbaran pernah menjadi salah satu kontributor, yang dalam proses rekrutmen tidak seketat pegawai tetap. ()