Oleh : Desi Fitriyani
Lahirnya pemberian otonomi khusus (otsus) kepada Provinsi Papua dilatarbelakangi oleh pengakuan negara terhadap dua hal penting. Pertama, pemerintah mengakui bahwa hingga saat terbentuknya undang-undang tersebut terdapat permasalahan di Papua yang belum diselesaikan. Permasalahan itu meliputi bidang politik, pemerintahan, ekonomi, maupun sosial dan budaya.
Kedua, pemerintah mengakui bahwa telah terjadi kesalahan kebijakan yang diambil dan dijalankan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua. Diakui secara tegas bahwa apa yang dijalankan di Papua belum memenuhi rasa keadilan, belum memungkinkan tercapainya kesejahteraan, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap HAM, khususnya bagi masyarakat Papua.
Singkatnya dapat diketahui bahwa tujuan pemberian otsus adalah untuk menyelesaikan akar masalah Papua sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua. Legalitas pemberian otsus kepada Provinsi Papua telah dituangkan melalui undang-undang. Adanya undang-undang tersebut sebagai instrumen normatif untuk menyelesaikan akar persoalan berupa “kesenjangan, persamaan kesempatan, serta perlindungan hak dasar dan Hak Asasi Manusia.” Sayangnya ketentuan terkait membentuk partai politik (parpol) yang merupakan salah satu bagian dari HAM telah dihapus dalam RUU Otsus Papua, yang kemudian menimbulkan banyak tanggapan di hampir semua kalangan.
Hak membentuk parpol sebelumnya telah dijamin dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua),“Pasal 28 ayat (1) Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik”
Akan tetapi, ketentuan tersebut kemudian dihapus melalui revisi UU Otsus Papua yang kini telah disahkan oleh DPR. Hal inilah yang kemudian menimbulkan perbincangan, mengingat hak mendirikan parpol merupakan manifestasi dari perwujudan negara demokrasi yang telah dijamin dalam konstitusi tepatnya dalam Pasal 28 UUD NRI 1945 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Hak mendirikan parpol merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah dengan adanya RUU tersebut akan menghilangkan hak mendirikan parpol? Jawabannya tentu tidak. Meskipun sudah dihapus, penduduk Provinsi Papua tetap dapat membentuk parpol. Sebab hal tersebut sudah merupakan jaminan dari konstitusi yang kemudian diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol).
Pasal 2 UU Parpol mengatur terkait pendirian dan pembentukan parpol, dimana syaratnya adalah parpol dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelas bahwasanya dalam pendirian parpol dapat dilakukan penduduk manapun asalkan ia adalah warga negara Indonesia, termasuk oleh penduduk Papua. Sehingga diatur atau tidaknya ketentuan khusus tersebut dalam UU Otsus Papua tidak akan menghapuskan hak bagi penduduk Papua yang ingin mendirikan parpol. ()