Oleh : Andriansyah
(Internship Advokat Konstitusi)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru- baru ini kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah dan beberapa orang yang dinilai terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi berupa suap proyek infrastruktur yaitu Direktur PT Agung Perdana, Agung Sucipto dan Sekretaris Dinas PUTR Provinsi Sulawesi Selatan Edy Rahmat. Bahkan ketiganya telah ditetapkan sebagai tersangka dengan Agung berstatus sebagai pemberi, sedangkan Nurdin Abdullah dan Edy Rahmat selaku penerima (Aditya, 2021). Terlepas dari penetapan tersangka tersebut, OTT ini telah banyak diketahui masyarakat. Masyarakat mengecam dan kecewa terhadap tindakan yang dilakukan oleh gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tersebut. Padahal, proses hukum masih berjalan dan status hukum Nurdin Abdullah masih sebagai tersangka.
Hukum pidana merupakan hukum yang sifatnya ultimum remedium. Mengapa hukum pidana bersifat demikian? karena hukum pidana akan mengurangi penggunaan hak- hak yang dimiliki seorang individu, dan menimbulkan derita atau kesengsaraan yang tentunya hukum dasarnya bertentangan dengan negara yang menjunjung tinggi hak asasi.Oleh sebab itu, dalam menerapkan hukum pidana harus didasarkan prinsip kehati- hatian, dan mengedepankan asas praduga tidak bersalah (presumption of innounce).
Asas praduga tidak bersalah pada dasarnya mengandung arti bahwa setiap orang yang terlibat dalam suatu perkara hukum pidana tidak dapat dinyatakan bersalah, kecuali dengan adanya putusan dari pengadilan yang objektif dan tidak memihak serta berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut telah tercermin di berbagai instrumen hukum. Misalnya dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) pada Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Hal yang sama juga diuraikan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) Pasal 5 ayat (1) dan (2):
(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.
(2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.
Melihat beberapa aturan tersebut, secara sekilas sangat tidak bersesuaian dengan adanya penerapan OTT KPK. Hal ini dikarenakan pada penerapan OTT, justru secara tidak langsung KPK menerapkan prinsip praduga bersalah sebagai dasar penangkapan. Apalagi OTT terkadang dilakukan tanpa melihat keadaan, waktu penangkapan dan ada atau tidaknya barang bukti. Menurut Romli Atmasasmita, OTT KPK telah melakukan tiga jenis tindakan yang melanggar UU (interdiction , entrapment , dan dalam proses penyelidikan) (Sindo, 2017).
OTT yang dilakukan KPK dilandasakan atas Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHAP) Pasal 1 Butir 19:Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
Selain itu, dilandaskan pula pada Pasal 111 ayat (1) KUHAP menguraikan bahwa “Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum wajib menangkap tersangka guna diserahkan berserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik” Oleh sebab itu, dari berbagai landasan tersebut KPK mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan OTT. Berdasarkan instrumen hukum tersebut, penulis merasa tidak benar jika dikatakan OTT merupakan tindakan yang ilegal. Lantas apabila KPK mempunyai legasi untuk melakukan OTT, apakah berarti justru penormaan di dalam KUHAP-lah yang telah menyalahi asas praduga tidak bersalah?
Perlu dipahami bahwa, asas merupakan nilai kehidupan di dalam masyarakat yang sifatnya luas dan abstrak. Oleh sebab itu, suatu asas dapat berguna dan terlihat kegunaannya Ketika dituangkan dalam bentuk norma. Oleh sebab itu suatu aturan hukum sebenarnya adalah penjabaran dari asas itu sendiri. Ketika melihat kembali mengenai penjabaran asas praduga tidak bersalah dapat dilihat di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 ayat (1) “Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dana tau dihadapan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Ketika memperhatikan secara seksama aturan hukum yang dijiwai asas praduga tidak bersalah, maka dapat ditemukan dua kesimpulan yaitu sebagai berikut.
- Bersalah menurut hukum ditentukan oleh vonis yang diputuskan oleh pengadilan. Sehingga proses sebelum dijatuhkannya vonis, seseorang harus dianggap tidak bersalah (presumption of innounce)
- Status tersangka seseorang tidak dimaknai sebagai bentuk keputusan bahwa seseorang bersalah. Sehingga OTT yang dilakukan KPK tidak pula boleh dimaknai bahwa bentuk menetapkan seseorang yang ditahannya sebagai orang yang bersalah dan bentuk penyimpangan terhadap asas praduga tidak bersalah.
DAFTAR PUSTAKA
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)\
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman
- Nurhasan. (2017). Keberadaan Asas Praduga Tak Bersalah Pada Proses Peradilan Pidana: Kajian. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. Volume 17 (3). Hlm. 207.
()