Diversi Pada Anak : Pantaskah Anak atas Penghukuman Pidana?

Oleh: Mova Novianggie Supriyanto

Internship Advokat Konstitusi

Indonesia merupakan negara yang mengakui adanya HAM, tercermin dari hal yang mendasari lahirnya hukum sehingga terkandung adanya keadilan terhadap hak-hak warga negara. Warga negara dalam hal ini meliputi perlindungan terhadap anak. Tidak sedikit adanya problematika yang lahir berkaitan dengan permasalahan anak sehingga harus dikaji lebih dalam lagi. Dalam faktanya di Indonesia kasus terhadap anak mencapai 33%. Menilik hal tersebut perlu penyelesaian dan kajian sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku, yakni Undang-Undang Sistem Peradilan Konvensi Hak-Hak Anak adalah instrumen hukum dan HAM yang paling komprehensif untuk mempromosikan Pidana Anak, yakni melindungi hak-hak anak.

Alasan yang paling mendasar pada anak adanya kesepakatan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) diimana pada Tahun 1948 PBB membuat deklarasi yang dikenal dengan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dengan salah satu rumusannya adalah bahwa setiap manusia dilahirkan merdeka dan sama dalam martabat dan hakhaknya. Dengan demikian, anak dijamin hakhaknya untuk hidup dan berkembang sesuai dengan kemampuannya dan harus dilindungi. Perlindungan terhadap hak anak oleh dunia internasional tertuang dalam (1) 1959 UN General Assmbly Declaration on the Rights of the Child; (2) 1966 International Covenant on Civil and Rights of the Child; (3) 1966 International Covenant on Economic, Social & Cultural Right; (4) 1989 UN Convention on the Rights of the Child.

Konvensi Hak-Hak Anak adalah instrumen hukum dan HAM yang paling komprehensif untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak anak. 4 Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) pada Tahun 1990 yang telah disetujui oleh Majelis Umum PBB pada 20 November 1989. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1990, kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 20014 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup yang menghargai dan tumbuh berkembang. Hadirnya perangkat peraturan tersebut telah merumuskan perlindungan terhadap hak-hak anak namun dalam kenyataannya masih belum mendapatkan perlakuan yang sangat bermanfaat untuk kepentingan yang terbaik untuk kepentingan anak.

Penggolongan usia anak wajib diperhatikan oleh penegak hukum hal ini bukan saja menyangkut syarat dan ketentuan di undang-undang akan tetapi turut mempengaruhi psikologi anak dalam melakukan tindak pidana, hal tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat 3 UU SPPA. Penggolongan usia ini akan banyak berpengaruh berkaitan dengan penanganan penyelesaian kasus anak. Anak tidak dapat diperlakukan sama dengan orang dewasa di hadapan pengadilan. Pasal ini menjelaskan bahwa penanganan kasus anak yang termasuk di bawah umur dilakukan tindakan diversi. Diversi dianggap sebagai jalan yang terbaik bagi penerapan hukum bagi anak yang terlibat dalam kasus tindak pidana.

Menilik adanya diversi yang diterapkan dalam pidana anak diperlukan pula pendekatan khusus yang dikenal bernama restorative justice system. Hal ini meletakan sebuah kejahatan sebagai sebuah gejala dalam bagian tindakan sosial sehingga tidak hanya melihat pelanggaran hukum pidana atau kejahatan yang dipandang sebagai perusak hubungan sosial. Titik berat dari adanya Restorative Justice adalah sebuah pendekatan fokus korban dan masyarakat dibandingkan dengan pemidanaan terhadap pelaku. Meninjau lahirnya tujuan yang menyajikan adanya solusi non penal tanpa melibatkan hukuman dan saksi pidana terhadap anak, yang mana penyelesaian melalui instrument restorative justice system ini adalah salah satu bentuk penyelesaian yang efektif tanpa harus melibatkan aparat penegak hukum yang jelas akan mempengaruhi psikologis anak ketika berhadapan dengan hukum.

Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan. Indonesia telah memberlakukan konsep keadilan restoratif dalam proses peradilan anak. Hal tersebut lebih menjamin terpenuhinya rasa keadilan antara korban dan pelaku.

Indikator pencapaian tujuan penjatuhan sanksi dalam penerapan restorative justice dapat dilihat dari apakah korban telah direstorasi, kepuasan korban, besarnya ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakatan perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan proses yang terjadi.Program diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice jika :

  1. Mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
  2. Memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
  3. Memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
  4. Memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
  5. Memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.

Konsekuensi lahirnya UU SPPA adalah melahirnya diversi pada anak yang tidak lain mengandung konsep menghindari dan menjauhkan anak anak dari proses peradilan, sehingga dapat menghindari stigmatisasi buruk dari kesan pelaku kriminal. Sebagai wujud untuk menghilangkan stigmatisasi anak dari citra buruk karena memperoleh hukuman. Sebagai wujud implementasinya adalah dibentuk program diversi hal ini sangat berguna bagi anak yang melakukan tindak pidana agar terhindar dari pengaruh buruk penjara yang justru akan mengabaikan hak-hak anak yang dijamin oleh undang-undang. Dampak dilakukan adanya diversi adalah menilik pula pada masa dengan anak dan hak anak yang menjadi lebih terlindungi secara hukum sehingga terhindar dari pengaruh buruk baik secara materil dan moril akibat dikenakan sanksi pidana penjara tersebut.

Hal ini tidak semata-mata menjadikan anak sebagai subjek hukum yang kebal hukum, presepsi ini perlu dihilangkan karena bila ditinjau adanya diversi sebagai wujud penyelesaian masalah yang ditempuh akibat adanya non litigasi dengan mempertemukan kedua belah pihak antara pelaku dan korban guna mencari jalan keluar untuk melakukan mediasi demi kepentingan bersama. ()