Drama Bertetangga: Dari Cekcok Sampai Dengan Penutupan Akses Menggunakan Tembok

oleh: Catur Agil Pamungkas

Internship Advokat Konstitusi

Permasalahan sosial kemasyarakatan sangatlah kompleks, hal tersebut dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan yang ada ditengah masyarakat, mulai dari penduduknya yang beragam, karakter orang yang bermacam-macam, sampai dengan perbedaan budaya antara masyarakat satu dengan lainya. Salah satunya terjadi di Pulogadung baru-baru ini, dimana pada hari Rabu (3/8/2022) tembok sepanjang dua meter berdiri persis di depan rumah Anissa (40) yang merupakan warga RT. 011/ RW. 010 Kelurahan Pisangan timur, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Dengan berdirinya tembok tersebut, membuat akses rumahnya menuju jalan umum menjadi tertutup. Penutupan akses tersebut dilakukan oleh Widya (46) yang tidak lain adalah tetangganya sendiri, ia melakukan hal tersebut lantaran sakit hati terhadap perlakuan dari keluarga Anissa yang terakumulasi sejak 2019. 

Latar Belakang Penembokan Akses Jalan

Berdasarkan keterangan Widya, penembokan memang sengaja dilakukan lantaran penghinaan dan intimidasi yang dilakukan oleh keluarga Anissa kepada keluarganya, dimana hal tersebut sudah terakumulasi sejak tahun 2019. Dimana untuk penghinaanya sendiri, seringkali dialamatkan kepada dirinya secara pribadi, seperti “ya gitu deh, kalau nggak kawin, galak” imbuh Widya. Penghinaan juga beberapa kali diterima oleh sang Ibu yang notabene sehari-harinya berada dirumah. Tidak hanya itu, keluarga Widya juga geram lantaran akses jalan menuju rumahnya kerap kali terhalang oleh parkir sepeda motor yang tidak beraturan, maka dari itu, hal tersebut memicu friksi dan memperkuat niatannya untuk membangun tembok setinggi 2 meter tersebut. 

Kronologi Penembokan

Bahwa berdasarkan keterangan Widya, pihaknya telah memastikan legalitas kepemilikan jalan tersebut, dimana pada tahun 1978 orangtuanya telah membeli tanah tersebut yang kemudian pada tahun 1994 mendapatkan sertifikat hak milik. Selain itu, guna memastikan kembali, pada tahun 2019 keluarganya kemudian menghubungi Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk kembali melakukan pengukuran jalan tersebut, dimana berdasarkan keteranganya, keluarga Anissa juga menyaksikan. 

“Kami minta dibantu mediasi ke kelurahan kami sudah mendatangkan BPN untuk mematok batas, kami kan tidak tau batasnya ya orangtua ya tetapi berdasarkan sertifikat akhirnya kami minta dipertegas lagi oleh BPN dan itu sudah dilaksanakan Juli 2019. Pada waktu itu (keluarga Anissa) hadir menyaksikan tetapi tidak mengakui dan tidak mau menandatangani BAP,” tuturnya.

Pasca mendapatkan penegasan dari BPN, pihak keluarga Widya kemudian membuat surat pemberitahuan kepada keluarga Anissa, dimana dalam surat tersebut berisikan informasi perihal rencana penembokan, akan tetapi setelah pemberitahuan tersebut, keluarga Anissa tidak merespon dan dianggap tidak menyatakan keberatan.

“Suratnya ditujukan untuk Pak Lurah, Pak RT, Pak RW, dan ditembuskan ke keluarga Pak Asep dan LMK (lembaga musyawarah kelurahan),” ucapnya.

“Ketika pelaksanaan yang bersangkutan ada di sini jadi nggak sekonyong-konyong ya, barang-barang ada di sini, tukang juga ada di sini kami lalu-lalang tapi tidak ada pernyataan keberatan pada saat pelaksanaan,” tambahnya.

Bagaimana Pengaturan Terkait Penutupan Akses Jalan Dalam Undang-Undang?

Berdasarkan analisa yang kami lakukan, tidak terdapat aturan yang secara eksplisit mengharuskan pemilik (baik itu tanah maupun rumah) untuk memberikan akses bagi pemilik tanah/rumah lain yang berada disekitarnya. Akan tetapi, terdapat regulasi yang mengatur tentang pemilik tanah/rumah yang akses jalannya tertutup berhak menuntut pemilik tanah/rumah yang memiliki akses ke jalan untuk memberikan jalan keluar sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 667 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata):

“Pemilik sebidang tanah atau pekarangan yang terletak di antara tanah-tanah orang lain sedemikian rupa sehingga ia tidak mempunyai jalan keluar sampai ke jalan umum atau perairan umum, berhak menuntut kepada pemilik-pemilik pekarangan tetangganya, supaya diberi jalan keluar untuknya guna kepentingan tanah atau pekarangannya dengan kewajiban untuk membayar ganti rugi, seimbang dengan kerugian yang diakibatkannya.”

Maka dari itu, berdasarkan ketentuan diatas, keluarga Anissa sebenarnya memiliki hak untuk menuntut keluarga Widya atas penutupan akses rumahnya menuju jalan umum, meskipun dengan catatan bahwa keluarga Anissa tetap harus membayar ganti rugi sebesar kerugian yang didapat oleh keluarga Widya karena telah menggunakan Sebagian tanahnya untuk keperluan akses jalan. 

Akan tetapi, mengacu pada kasus diatas, dimana keluarga Widya telah membangun tembok yang menutup akses keluar bagi keluarga Anissa, maka  hal tersebut menyalahi ketentuan Pasal 671 KUH Perdata yang menyatakan:

“Jalan setapak, lorong atau jalan besar milik bersama dan beberapa tetangga, yang digunakan untuk jalan keluar bersama, tidak boleh dipindahkan, dirusak atau dipakai untuk keperluan lain dari tujuan yang telah ditetapkan, kecuali dengan izin semua yang berkepentingan.”

Maka dari itu, atas dasar upaya menguasai area yang seharusnya menjadi jalan keluar bagi tetangganya itu, Keluarga Widya dapat digugat atas dasar Perbuatan Melawan Hukum yang diatur dalam Pasal 1365 Perdata: 

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.” 

Meskipun demikian, perlu dilakukan analisa yang lebih mendalam sebelum mengajukan gugatan PMH tersebut, utamanya perihal latar belakang dari penutupan akses jalan terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Yang mana sesuai dengan KUH Perdata, orang yang mempunyai rumah di belakang, mempunyai hak untuk mendapatkan akses ke luar ke jalan raya. ()