Dua Perusahaan Farmasi Berpotensi Dipidana

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam konferensi persnya menyatakan akan membawa dua perusahaan farmasi ke ranah pidana. Langkah BPOM ini merupakan kelanjutan dari hasil investigasi terhadap temuan obat-obatan yang menyebabkan gagal ginjal akut pada anak-anak. Harapannya dengan ini terdapat pertanggungjawaban pidana dari kedua perusahaan produsen obat tersebut.

“Dalam proses ini juga kami sudah mendapatkan dua industri farmasi yang akan kami tindak lanjuti menjadi pidana” (dikutip dari detik.com). Pernyataan tersebut disampaikan setelah rapat terbatas antara Penny Lukito selaku Kepala BPOM dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada Senin (24/10/2022)

Dampak Obat-obatan pada Anak-anak

Kedua perusahaan farmasi tersebt diduga merupakan produsen dari obat-obatan dengan kandungan glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) sangat tinggi yang menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut pada anak-anak. Disamping itu, berdasarkan keterangan Meteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, saat ini terhitung sebanyak 245 anak menderita gagal ginjal akut yang disebabkan oleh obat-obatan tersebut.

Persoalan ini setidakanya dapat diarahkan pada dua rezim undang-undang yang keduanya mengatur tentang sanksi pidana dalam materi muatannya. Yang pertama yakni UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena kedua perusahaan farmasi tersebut menimbulkan kerugian terhadap pengguna obat yang notabenenya merupakan konsumen dari perusahaan tersebut. Dan kedua yakni UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan karena kedua perusahaan tersebut berpotensi melakukan pelanggaran ketentuan produksi obat-obatan yang diatur dalam UU Kesehatan.

Ancaman Pidana terhadap Kedua Perusahaan

Pertama, berdasarkan Pasal 8 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau meperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila hal ketentuan tersebut dilanggar ancaman pidana dalam pada Pasal 62 ayat (1) dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (ima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Dan pertanggung jawaban pidana ini berdasarkan Pasal 61 dapat dikenakan kepada pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Artinya dalam hal ini baik perorangan atau pengurus korporasi dapat dikenai dengan sanksi pidana sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Kedua, dalam Pasal 196 UU Kesehatan diatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi (salah satunya adalah obat-obatan) yang tidak memnuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu diancam dengan pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah. Dalam Pasal 201 UU Kesehatan apabila hal ini dilakukan oleh korporasi maka dapat dijatuhi sanksi pidana kepada korporasi berupa pemberatan tiga kali dari pidana denda yang dijatuhkan terhadap pengurusnya.

Dengan demikian langkah yang dilakukan oleh BPOM untuk melanjutkan persoalan ini ke ranah pidana adalah sangat dimungkinkan menurut hukum. hal ini mengingat pertanggungjawaban pidana tidak hanya sebatas dikenakan pada perseorangan melainkan juga dimungkinkan terhadap Korporasi dalam hal ini perusahaan produsen obat-obatan. ()