Eksistensi Peraturan Daerah Syari’ah dalam Ketatanegaraan Indonesia

Oleh: Haryana Hadiyanti

Perdebatan Peraturan Daerah (Perda) berbasis Syariah bukanlah barang baru. Salah satunya adalah penerapan qanun di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berkaitan dengan ibadah mahdhah dan penuntasan segala bentuk kemaksiatan. Beberapa kota maupun kabupaten di Indonesia pun menerapkan perda Syariah berdasarkan otonomi daerahnya sendiri, seperti Kota Padang di Sumatera Barat, Kabupaten Garut di Jawa Barat, dan lainnya. Lalu, bagaimana eksistensi perda Syariah meluas dan diadopsi di Indonesia?

Menginginkan Indonesia sebagai negara islami diupayakan sejak sebelum kemerdekaan, dimana perdebatan Piagam Jakarta menjadi titik poinnya, Di Dalam Piagam Jakarta yang bertuliskan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menimbulkan kontroversi karena sejumlah tokoh Indonesia bagian Timur menganggap rumusan tersebut tidak berlaku bagi pemeluk agama lain. Maka dari itu, perumusan tersebut direvisi dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada 18 Agustus 1945 dan pengesahan UUD 1945. Sekarang ini, masa pasca-reformasi, terdapat sejumlah daerah yang mengeluarkan peraturan yang bernuansa agama atau keyakinan.

Namun, di dalam hirarki Peraturan Perundang-undangan yang termaktub Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdiri dari:

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  • Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  • Peraturan Pemerintah;
  • Peraturan Presiden;
  • Peraturan Daerah Provinsi; dan
  • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Difokuskan pada Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota, materi muatan didalamnya berisikan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengaturan mengenai urusan Pemerintahan juga telah dijabarkan dalam Pasal 9 UU 23/2014 atau UU Perda, yang terdiri dari urusan pemerintahan absolut, konkuren, dan umum. Urusan agama berada pada ruang lingkup urusan pemerintahan absolut yang merupakan urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dengan adanya asas dekonsentrasi, urusan agama yang merupakan urusan pemerintahan absolut, nyatanya dimungkinkan untuk dilimpahkan wewenangnya kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Apakah Perda Syariah termasuk di dalam peraturan daerah yang disebutkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan? Dapat disimpulkan termasuk, karena dapat berupa Peraturan Daerah Provinsi ataupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang muatannya mengatur tentang urusan agama. Terdapat empat belas Kabupaten/Kota yang telah meloloskan Perda Syariah sebagai produk hukum yang harus ditaati oleh masyarakat. Di antara daerah-daerah itu antara lain:

  1. Kota Tangerang, ada Perda No.8 tahun 2005 tentang pelarangan, mencurigai, dan menangkap perempuan di tempat umum karena diduga melacur.
  2. Kabupaten Pamekasan Jawa Timur, Surat Edaran Bupati Nomor 450 tahun 2002 tentang kewajiban memakai jilbab bagi karyawati serta baju koko bagi karyawan muslim di hari Jumat.
  3. Kab Maros Sulsel, perda Desember 2005 tentang kewajiban ujian baca tulis Al-Qur’an bagi siswa SD-SMA yang akan mengikuti ujian akhir, serta karyawan PNS yang akan naik golongan.
  4. Kab Indramayu Jawa Barat, kewajiban menggunakan jilbab, baju koko dan kopiah di hari Jumat bagi seluruh pegawai pemerintah daerah. Peraturan ini dimulai pada hari jadi kota Indramayu ke 475 tahun 2001.
  5. Kota Padang, Instruksi Walikota No. 451.422/Binsos-III/ 2005 tentang kewajiban jilbab dan busana muslimah bagi karyawan yang beragam Islam dan imbauan memakainya bagi non-muslim.

Perda – perda syariah yang ada baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota juga telah melalui serangkaian proses dan prosedur pengundangan di daerah, hingga tercatat dalam Lembaran Daerah. Proses ini tentu saja telah mempertimbangkan aspek toleransi, keadilan, dan keberagaman yang ada di daerah. Dalam menanggapi eksistensi, tentu saja menuai pro-kontra terkait konstitusionalitas perda Syariah yang diterapkan di Indonesia. Perda bermuatan syariah dibuat dalam rangka implementasi kebebasan pengaturan dalam beragama sebagaimana dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945. Kehadiran perda bermuatan syariah merupakan manifestasi dari pluralisme sistem hukum di Indonesia yang terdiri dari Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat (BW). Selama implementasi perda bernuansa syariah Islam mampu memayungi semua elemen masyarakat, lebih-lebih apabila masyarakat yang ada tidak homogen, maka penerapannya akan berhasil.

()