Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Pelaku Teror

Oleh: Salsabila Rahma Az Zahro

(Internship Advokat Konstitusi)

Dua tahun lalu, Indonesia dihebohkan dengan peristiwa bom bunuh diri di Surabaya. Dalam kasus tersebut, pelaku melibatkan anak kandungnya sendiri untuk melakukan aksinya tersebut. Peran pelaku sebagai orang tua dalam kasus pengeboman ini menjadi sebuah permasalahan bahwa mereka memberikan sugesti kepada anak anaknya untuk mengikuti aksi orang tuanya dan terlibat menjadi pelaku tindak pidana terorisme. 

Tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa pada umumnya hanya dilakukan oleh orang dewasa. Tetapi, banyak orang dewasa yang melibatkan anak anaknya untuk melakukan tindakan tersebut. Faktor penyebab anak melakukan tindak pidana terorisme adalah adanya peran orang tua yang menanamkan paham radikal pada anak. Selain itu, pola lingkungan yang  semakin tidak memperhatikan tetangganya dan lingkungan yang selalu beradaptasi dengan anak anak pelaku teroris lainnya sehingga anak-anak tersebut menjadi korban dari orang tua dan lingkungannya.

Saat ini terdapat berbagai macam pengaturan yang berusaha untuk melindungi hak anak-anak, salah satunya datang dari instrumen hukum internasional yang salah satunya diatur dalam Protokol II Konvensi Jenewa 1949 (AP2). Kehadiran AP2 ini akan melindungi anak-anak yang kondisi mentalnya masih labil dan melindunginya dari akibat doktrin dari kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab. Di Indonesia, terdapat pengaturan yang sama, khususnya terhadap aksi terorisme yang melibatkan anak-anak, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.