EKSISTENSI RUPIAH DIGITAL, PENGATURAN HUKUMNYA?

Oleh: Haryana

Uang merupakan suatu benda yang ditukarkan dengan benda lain, dapat digunakan untuk menilai beda lain, dan dapat kita simpan. Berdasarkan fungsinya, uang digunakan sebagai uang tukar (medium of exchange), alat penyimpan nilai (store of value), satuan hitung (unit of exchange), dan ukuran pembayaran yang tertunda (standard for deffered payment). Pada umumnya, masyarakat mengenal istilah uang dalam bentuk tunai dan giral. Uang tunai merupakan uang yang dimiliki masyarakat (di luar bank umum) dan siap dipergunakan setiap saat dalam melakukan transkasi pembayaran yang berjumlah tidak besar. Uang tunai dapat disebut juga sebagai uang kartal, dimana terdiri dari uang kertas dan uang logam. Di Indonesia, uang kartal adalah uang kertas dan uang logam yang beredar di masyarakat yang dikeluarkan dan diedarkan oleh bank sentral yang berfungsi sebagai otoritas moneter.

Bank sentral yang berfungsi sebagai otoritas moneter tersebut dimiliki oleh Bank Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjelaskan tujuan dibentuknya Bank Indonesia adalah mencapai kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Bank Indonesia mempunyai hak tunggal untuk mencetak dan mengedarkan uang kartal, sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Bank Indonesia berupaya dalam menyediakan uang yang layak edar dan memenuhi kebutuhan masyarakat, baik dari sisi nominal maupun pecahannya.

Pada 30 November lalu, Bank Indonesia mengumumkan untuk menerbitkan Central Bank Digital Currency bernama Rupiah Digital. Rupiah digital digunakan untuk pemenuhan ekonomi negara, termasuk dijadikan sebagai alat pembayaran digital di Indonesia. Deputi Gubernur BI, Doni Primanto Joewono, mengungkapkan bahwa penerbitan rupiah digital ini berpotensi meningkatkan pertumbuhan pasar modal dan membuka peluang bisnis baru. Selain itu, penerbitan rupiah digital juga bertujuan untuk mengatasi risiko stabilitas aset kripto yang berpotensi menimbulkan sumber risiko baru. Tentunya, rupiah digital berbeda dengan e-wallet yang seringkali digunakan masyarakat karena rupiah digital memiliki jenis ritel dan saldo e-wallet dapat ditukarkan menjadi rupiah digital.

Akan tetapi, peluncuran rupiah digital justru menambah tantangan baru dalam aspek ekonomi maupun hukum. Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 (UU Mata Uang), rupiah hanya terdiri atas rupiah kertas dan rupiah logam. Dalam hal ini, belum ada definisi mengenai rupiah digital, sehingga dibutuhkan landasan hukum yang mengatur rupiah digital. Selain itu, rupiah digital memiliki risiko hukum terhadap hukum perdata, sebab keabsahan dalam kepemilikan rupiah digital hanya terdeteksi dalam sistem. Di sisi lain, rupiah digital masih awam di kalangan masyarakat.

Lalu, rupiah digital akan menjadi solusi atau disrupsi?

  ()