Eksistensi Surrogate Mother dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia

oleh : Norain Bumbungan

Internship Advokat Konstitusi

Memiliki keturunan dari perkawinan yang sah merupakan dambaan hampir seluruh pasangan suami istri. Tak jarang, pasangan suami istri mengupayakan berbagai macam cara untuk memiliki dan melanjutkan keturunan. Namun, tak jarang juga keinginan tersebut terhalang oleh berbagai faktor terutamanya faktor kesehatan pada organ reproduksi baik dari suami maupun istri. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, telah banyak metode yang berkembang guna mengakomodir setiap pasangan yang kesulitan memperoleh keturunan secara alami. Salah satu pemanfaatan teknologi dalam bidang medis yang ditujukan bagi pasangan suami istri yang kesulitan memiliki keturunan adalah dengan praktik Surrogate Mother.

Surrogate Mother atau sewa rahim merupakan pengembangan dari teknologi pembuahan dengan proses pembuahan di luar rahim pasangan suami istri, kemudian ditanam pada rahim wanita lain (ibu pengganti). Secara umum, terdapat dua bentuk penerapan Surrogate Mother yang berkembang dalam dunia medis, yakni:

  1. Gestational surrogacy : embrio yang berasal dari sperma suami dan sel telur istri dipertemukan melalui teknologi in vitro fertilization, yang kemudian ditanam dalam rahim wanita lain (ibu pengganti).
  2. Genetic surrogacy : proses sewa rahim dengan sel telur wanita lain (ibu pengganti) yang dipertemukan dengan sperma dari suami, kemudian ditanam dalam rahim ibu pengganti 

Pada praktik Surrogate Mother terdapat suatu perjanjian yakni wanita tersebut harus mengandung, melahirkan, dan menyerahkan kembali bayi yang telah dikandungnya. Lebih lanjut, menurut Fred Amelen, Surrogate Mother merupakan kondisi ketikan seorang wanita mengikatkan dirinya melalui suatu ikatan perjanjian dengan pihak lain dalam hal ini pasangan suami istri untuk mengandung setelah dimasukkannya penyatuan  sel  benih  laki-laki  dan  sel  benih  perempuan,   yang   pembuahannya dilakukan di  luar    rahim    sampai    melahirkan    sesuai    kesepakatan   yang   kemudian   bayi   tersebut   diserahkan  kepada  pihak  suami  istri  dengan  mendapatkan   imbalan   berupa   materi   yang   telah disepakati.

Surrogate Mother seyogyanya telah dilakukan di beberapa negara, seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, India, dan Thailand. Di Indonesia, praktik Surrogate Mother pernah dilakukan, misalnya pada tahun 2005 pasangan suami istri asal Indonesia menyewa wanita asal Amerika Serikat untuk menjadi ibu pengganti dalam usahanya memiliki keturunan. Bahkan pada tahun 2009, artis Zarima Mirafsur dikabarkan telah melakukan penyewaan rahim untuk sepasang suami istri. Meskipun praktiknya bukan hal baru dalam dunia medis Indonesia, hingga saat ini belum ada payung hukum yang mengakomodir dan memberikan legalitas terhadap praktik Surrogate Mother di Indonesia.

Hingga saat ini, hukum kesehatan Indonesia hanya melegalkan praktik bayi tabung sebagai upaya kehamilan di luar cara alami. Mengacu pada Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dijelaskan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: 

  1. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
  2. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; 
  3. Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. 

Berdasarkan regulasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa praktik Surrogate Mother dalam perspektif hukum Indonesia merupakan praktik medis ilegal dan bertentangan dengan Undang-Undang. Terlebih lagi, pada kenyataannya praktik Surrogate Mother tidak hanya menggunakan rahim wanita lain (ibu pengganti), tetapi juga sel telur ibu pengganti tersebut diinseminasi dengan sperma dari suami yang menggunakan jasa Surrogate Mother. Hal tersebut secara terang benderang bertentangan dengan regulasi yang hanya memperbolehkan upaya kehamilan secara tidak alami jika dalam proses pembuahannya sperma dan sel telur (ovum) berasal dari pasangan suami istri yang secara sah telah melakukan perkawinan, ditambah dengan syarat bahwa hasil pembuahan tersebut hanya dapat ditanamkan pada rahim dari mana ovum tersebut berasal.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada praktik Surrogate Mother terdapat perjanjian yang mengikat pasangan suami istri dan ibu pengganti sebagai pihak yang menyewakan rahimnya.  Oleh karena itu, jika memandang praktik Surrogate Mother dalam perspektif Hukum Perdata, praktik Surrogate Mother berkaitan erat dengan syarat sah terbentuknya perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) menjelaskan bahwa syarat sahnya perjanjian, yakni : (1) kesepakatan para pihak; (2) kecakapan para pihak; (3) mengenai suatu hal tertentu; dan (4) sebab yang halal. Berdasarkan pengaturan tersebut, dapat dilihat bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian ialah perjanjian yang didasarkan pada sebab yang halal. Penjabaran dari sebab yang halal tersebut dimaksudkan,  dalam mengadakan suatu perjanjian, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Melihat praktik Surrogate Mother yang jelas  bertentangan dengan regulasi dalam hukum kesehatan Indonesia, maka dapat dilihat bahwa perjanjian yang terjalin oleh pasangan suami istri dengan ibu pengganti dalam upayanya memperoleh keturunan merupakan perjanjian yang tidak sah karena tidak memenuhi syarat “suatu sebab yang halal” dalam perjanjian. ()