Oleh : Joshua
Perekrutan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai, (1) “Proses, cara, perbuatan merekrut”; serta (2) “Pemilihan dan pengangkatan orang untuk mengisi peran tertentu dalam sistem sosial berdasarkan sifat dan status seperti suku, kelahiran, kedudukan sosial, dan prestasi atau kombinasi dari kesemuanya”. Perekrutan merupakan suatu hal lumrah yang terjadi dalam banyak institusi karena terkait dengan keberlanjutan jalannya sebuah institusi, termasuk dalam Partai Politik yang lebih dikenal dengan istilah rekrutmen politik. Rekrutmen politik merupakan seleksi dan pemilihan atau pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem-sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya.
Di Indonesia, rekrutmen politik dilakukan dengan berdasar pada Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Partai Politik) yang mengamanatkan bahwa rekrutmen politik dilakukan melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender serta demokratis dan terbuka sesuai dengan AD/ART serta peraturan perundang-undangan.
Das sollen das sein, rekrutmen politik yang ada dalam politik kekinian sering dipertanyakan, (tarik contoh dari pelaksanaan Pilkada serentak) karena sering terjadinya sebuah partai politik enggan mengajukan kadernya sendiri. Walaupun memang mungkin hal itu disebabkan adanya keinginan partai politik untuk mencalonkan orang terbaik, namun bukannya hal tersebut cenderung menunjukan kelemahan rekrutmen partai politik? Dugaan hal tersebut disebabkan oleh sistem rekrutmen tertutup sehingga syarat dan prosedur pencalonan (partai politik) tidak dapat diketahui umum secara bebas. Sehingga untuk memperbaiki itu semua, perlu dibentuk pola rekrutmen dengan prosedur terbuka yang dapat diketahui secara luas.
Selain itu, untuk melatih kepemimpinan dan manajemen seorang kader partai hingga nantinya siap untuk dicalonkan sebagai kepala daerah serta menjalankan pemerintahan, perlu untuk menerapkan sistem berjenjang dalam manajemen organisasi partai. Menurut Lili Romli dalam sebuah jurnal berjudul “Pilkada Langsung, Otonomi Daerah, dan Demokrasi Lokal”, sistem tersebut dijalankan lewat beberapa tahapan, yaitu: Partisan, compartmentalization, Immidiate survival, hingga civil service reform. Sistem tersebut diharapkan dapat menumbuhkan bibit-bibit kepemimpinan hingga mampu menjawab tantangan regenerasi partai.
Dalam jurnal yang telah disebutkan di atas, Lili Romli menyebutkan bahwa pada tahap awal untuk menjadi anggota, dapat dilakukan proses rekrutmen partisan dapat dijalankan dengan merekrut pendukung yang kuat dan memiliki loyalitas tinggi. Kemudian Immediate survival yang dilakukan tanpa melihat kemampuan, dilakukan terhadap para anggota untuk memilih staf dalam departemen atau bagian tertentu yang dirotasi dalam periode tertentu agar anggota memahami roda organisasi partai. Lalu dilanjutkan dengan proses compartmentalization yang berdasar pada latar belakang pendidikan atau pengalaman untuk memilih staf ahli, sekretaris, maupun kepala dalam departemen atau bagian tertentu dalam partai. Hingga tahap akhir, yaitu pilihan civil service reform untuk menjadi ketua (baik dalam tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota) dengan cara melihat kemampuan dan loyalitas seorang anggota.
Hal yang telah dijelaskan tersebut dilakukan dengan metode berjenjang agar tiap kader partai politik dapat terlatih kemampuannya. Hal ini juga untuk meminimalisir pihak-pihak tertentu untuk langsung menduduki jabatan strategis partai, padahal baru bergabung dengan partai tersebut. Nantinya proses regenerasi dan kaderisasi pun akan semakin terstruktur jika suatu partai memiliki pola rekrutmen yang baik dan mampu merepresentasikan bagaimana penjabaran rekrutmen kader partai politik yang baik sebagaimana amanat UU Partai Politik. ()