Oleh: Annisa Diana Pratiwi
(Internship Content Creator @advokatkonstitusi)
Pada proses legislasi Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2019, pembentukan peraturan perundang undangan dinilai tidak transparan karena publik tidak mengetahui naskah draf RUU Cipta Kerja dan tidak dilibatkan secara langsung dalam pembahasan dan pengesahannya. Ketidaktahuan publik tersebut menimbulkan pertentangan dengan hak konstitusional warga negara yang diatur di dalam UUD NRI Tahun 1945. Perppu ini dikeluarkan guna melaksanakan Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020, yang menyatakan perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, dengan terbitnya Perppu Cipta Kerja ini, Pemerintah terkesan menunjukan bahwa presiden bersikap mengabaikan dan tidak menghormati putusan MK serta memaksakan keberlakuan UU Ciptaker yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat pada putusan MK 91/PUU-XVIII/2020.
Berdasar pada UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai batu uji kelayakan Perppu ini, terdapat beberapa alasan MK belum mengesahkan Perppu ini menjadi UU dan memberi waktu untuk memperbaiki Perppu Cipta Kerja selama 14 hari sesuai dengan ketentuan pasal 34 dan 35 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Melihat sudut pandang Presiden pada pembuatan Perppu Cipta Kerja, penerbitan Perppu Cipta Kerja diciptakan karena keadaan perdagangan dunia yang tidak stabil akibat perang Ukraina dan Rusia, ancaman resesi dan inflasi. Namun, apabila diukur dari tiga tolok ukur penerbitan Perppu berupa:
- keadaan yang bersifat memaksa, genting dan tidak dapat ditunda;
- tidak ada aturan hukum, kekosongan aturan hukum atau aturan hukum yang tidak menyelesaikan masalah serta
- proses pembentukan Perppu itu perlu disegerakan,
Keberadaan Perpu Cipta Kerja tidak memenuhi satu syarat tolak ukur penerbitan Perppu karena saat ini tidak terjadi kekosongan hukum dan aturan hukum yang digunakan untuk yang menyelesaikan permasalahan serta melaksanakan kebutuhan mendesak dalam ruang lingkup ketenagakerjaan dan jajarannya adalah Undang-Undang No.11 tahun 2020 (UU Cipta Kerja), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya yang masih tetap berlaku di Indonesia dan digunakan sebagai aturan hukum yang sah. Berpedoman pada putusan MK 91/PUU-XVIII/2020, DPR diberi tugas oleh MK untuk memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja dalam waktu dua tahun agar lepas dari status inkonstitusional bersyarat.
Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU Cipta Kerja ini bertentangan dengan hierarki perundang-undangan diatasnya, yaitu UUD 1945 secara bersyarat karena naskah akademik dan draf rancangannya tidak disebarluaskan dan tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Namun, Pemerintah menerbitkan Perpu Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 dengan tidak memenuhi amanat serta amar Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan tidak memenuhi Putusan MK Nomor 139/PUU-VII/2009. Adanya penerbitan Perppu ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan proses pembentukannya bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3, Pasal 22 ayat 1, dan Pasal 22A UUD 1945 UUD 1945 karena tidak memenuhi syarat kegentingan memaksa yang seharusnya didasarkan pada tiga tolok ukur penerbitan Perppu. Terdapat pula norma dalam Perppu Cipta Kerja yang dinyatakan telah menghilangkan hak konstitusional para buruh yang telah dijamin dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Terdapat unsur ketidakpastian hukum yang diutarakan oleh pemohon pengujian formil dan materiil Perppu Cipta Kerja ke MK yang merupakan seorang praktisi dan salah satu dosen fakultas hukum UII. Dalam bidang hukum ketenagakerjaan, dosen fakultas hukum UII ini tidak melihat adanya kekosongan hukum pada hukum ketenagakerjaan dan jajarannya karena hingga saat ini masih berlaku Undang-Undang No.11 tahun 2020 (UU Cipta Kerja), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya yang masih tetap berlaku di Indonesia. Pada sudut pemohon sebagai praktisi dan dosen UII, adanya norma yang menghilangkan hak konstitusionalitas masyarakat pada Perppu Cipta Kerja menimbulkan sifat rancu pada rumusan Perppu yang nantinya timbul ketidakpastian hukum ditengah masyarakat yang sedang membutuhkan aturan hukum ini. Terdapat pula perbedaan yang signifikan antara Pasal 88 Perppu Cipta Kerja dengan Pasal 88 UU Ketenagakerjaan yaitu perhitungan upah pekerja dan adanya formula kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Adanya perbedaan ini menghilangkan hak konstitusional warga negara untuk mendapat upah guna menciptakan kehidupan yang layak dan sesuai dengan pasal 27 UUD NRI 1945.
Tujuan awal dari UU dan Perppu Cipta Kerja ini adalah meringkas peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi tumpang tindih dan mensejahterahkan pekerja Indonesia dengan menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Maka dari itu, solusi yang ditawarkan oleh penulis adalah dengan segera memenuhi amar putusan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dengan memperbaiki UU Cipta Kerja agar tujuan dan nilai kemanfaatan dari undang-undang ini tercapai. Dengan disegerakannya perbaikan UU Cipta Kerja yang dinilai inkonstitusional ini, dapat memepersingkat kinerja pemerintah dan legislatif dalam menciptakan suatu aturan hukum. Pada putusan sebelumnya, MK memberi waktu dua tahun sejak adanya putusan tersebut untuk memperbaiki UU Cipta Kerja yang awalnya inkonstitusional bersyarat menjadi Undang-Undang yang baik sesuai dengan pembentukan undang-undang yang harus memperhatikan dua hal, yakni kewenangan lembaga negara dan keinginan rakyat.
Perbaikan Perppu Cipta Kerja didasarkan pada beberapa pertimbangan, diantaranya adalah tidak terpenuhinya syarat kegentingan memaksa dalam menerbitkan Perpp, terdapat beberapa aturan dan norma yang bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undangan diatasnya atau dengan yang setara dengan Perppu tersebut, Perppu Cipta Kerja menghilangkan hak konstitusional para buruh yang dahulu telah dijamin dan dilindungi oleh UUD NRI 1945 dan UU Ketenagakerjaan, serta timbulnya ketidakpastian hukum yang timbul karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat buruh dan tidak menyelesaikan masalah ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pada sidang dua perkara Pengujian Perppu Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi memutuskan agar DPR memperbaiki Perppu Cipta Kerja selama 14 hari sesuai dengan ketentuan pasal 34 dan 35 UU Mahkamah Konstitusi. ()