Indonesia yang Jauh dari Jangkauan Demokrasi Deliberatif

Oleh: Azeem Marhendra Amedi

(Internship Advokat Konstitusi)

Partisipasi masyarakat menjadi salah satu hal yang paling esensial dari sebuah negara demokrasi. Partisipasi tersebut diartikan dalam berhaknya masyarakat turut serta dalam pemerintahan. Namun, tidak dapat diartikan secara sempit hanya berupa partisipasi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) saja untuk dapat memilih wakil atau dipilih sebagai wakil dari rakyat. Diskursus demokrasi dalam ketatanegaraan tidak hanya dapat berhenti pada demokrasi perwakilan.

Juergen Habermas pada buku “The Theory of Communicative Action: Reason and the Rationalization of Society” menyampaikan kritik pada konsep demokrasi perwakilan yang hanya memanfaatkan konstituen mereka sebagai batu pijakan menuju jabatan politik yang mereka idam-idamkan. Pejabat politik yang telah dipilih mewakilkan konstituen mereka malah mengabaikan mandat yang diberikan pada mereka, sehingga para pejabat politik menganggap tugas konstitusionalnya telah selesai setelah mereka terpilih.

Padahal, para pejabat tersebutlah yang harus dengan maksimal menjalankan kewajiban mereka memenuhi salah satu hak penting warga negara, yakni melindungi, menghormati, dan memenuhi hak mereka untuk turut serta dalam pemerintahan. Demokrasi deliberatif inilah yang dapat menjadi konsep sebagai solusi efektifnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan proses demokrasi, baik secara prosedural maupun substansial.

Pada konsepnya, demokrasi deliberatif adalah bentuk pemerintahan yang memberi warga negaranya derajat yang sama pada proses pengambilan keputusan dimana mereka memberikan argumen secara timbal balik dapat diterima dan diakses guna mencapai tujuan untuk memberikan pengaturan yang mengikat pada semua orang, namun di kemudian hari tetap dapat digugat (Gutmann dan Thompson, 2004). Berbeda dari bentuk demokrasi perwakilan yang ketika warga negara telah diwakilkan mereka tidak lagi bisa memengaruhi kebijakan publik (kecuali dengan tekanan publik). Demokrasi deliberatif memberikan jalan untuk warga negara turut serta secara aktif untuk memengaruhi jalannya politik hukum dan negara wajib menyediakan jalan tersebut.

Pada sistem demokrasi perwakilan, publik bisa tetap saja mengambil bagian dalam kebijakan. Namun, peran mereka hanya sebagai formalitas untuk menyaksikan jalannya sidang atau ketika diundang untuk menyatakan pendapat tetapi tidak dapat memengaruhi keputusan akhir. Sistem demokrasi deliberatif menyediakan saluran-saluran atau forum-forum untuk warga negara yang inklusif agar dapat ambil bagian secara aktif dalam memengaruhi politik hukum. Sehingga warga negara yang turut serta dapat memengaruhi hasil akhir dari sebuah kebijakan.

Sayangnya, konsep tersebut sepertinya masih elusif di Indonesia. Tentunya pertimbangan saat ini adalah bagaimana menyatukan masyarakat Indonesia pada satu forum secara bersama-sama untuk membahas banyak hal mengenai pengambilan kebijakan di berbagai sektor. Walaupun begitu, para pendukung konsep ini mengakui bahwa tidak semua masyarakat harus dilibatkan dalam satu forum secara bersamaan dan tidak semua harus dibahas secara deliberatif. DPR misalnya, setiap mereka menggunakan forum sosialisasi Prolegnas ke masyarakat dengan menggunakan sesi kunjungan kerja, berdasarkan Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyusunan Program Legislasi Nasional, forum itu tidak hanya sebagai sarana untuk memperlihatkan apa saja yang menjadi rencana legislasi selama setahun ke depan dan menjaring aspirasi seadanya hanya untuk mematuhi ketentuan Pasal 18 huruf h Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (selanjutnya disebut UU 12/2011). Namun, juga harus menjadi sarana untuk menjaring kritikan dan saran substansial yang langsung memengaruhi penyusunan suatu undang-undang. 

Akses partisipasi pada demokrasi deliberatif dianggap penting apabila suatu kebijakan yang dibentuk mengikutsertakan kelompok masyarakat yang akan terdampak dari kebijakan itu sendiri. Deliberasi tersebut harus inklusif jika tidak dan hanya terbatas di antara anggota dewan saja, maka itu masih dalam tahap deliberasi elitis. Inklusi ini dilakukan dengan memberikan masyarakat yang turut serta dalam pembahasan derajat yang sama dengan perwakilannya atau para anggota dewan tersebut. Inklusi tersebut berarti juga ada interaksi dua arah antara warga dengan pejabat, tak terbatas hanya pada forum-forum yang bersifat sosialisasi biasa atau seminar yang terbatas.

Inklusi tersebut artinya masyarakat yang diundang tidak terbatas pada kalangan ahli, yang selama ini dilakukan menurut Pasal 45 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Inklusi tersebut harus dipahami masyarakat dari berbagai kalangan untuk turut dalam pembahasan sehingga memengaruhi hasil akhir dari kebijakan yang hendak diberlakukan, sehingga responsif pada kebutuhan yang ada secara nyata namun juga bersifat dinamis, sehingga dapat dipersoalkan pada sesi deliberasi lain.

Pernahkah konsep tersebut dilakukan di Indonesia? Tahun 2010 menjadi saksi diselenggarakannya praktik demokrasi deliberatif dalam acara kampanye Pilkada Kabupaten Bandung. Meski masih dalam taraf Pilkada dan belum dalam tahap deliberasi regional maupun nasional, praktik ini membuka kemungkinan untuk diterapkannya deliberasi di masa mendatang. 200 anggota masyarakat sipil menyelenggarakan sebuah forum bernama Forum Konstituen untuk berdialog secara kritis mengenai gagasan yang dibawa oleh para kandidat dan kontekstualisasi persoalan daerah mereka. Berawal dari situ, masyarakat dapat langsung mengetahui kandidat mereka ketika berhadapan dengan yang akan mereka pilih dan mengkritisi langsung pendekatan-pendekatan para pasangan calon tersebut.

Apakah dapat dilaksanakan untuk hal-hal lain di luar kampanye? Tentu bisa. Misalnya, seorang anggota dewan pada masa reses akan memiliki kesempatan untuk menjaring aspirasi dari masyarakat di daerah pemilihannya. Metode deliberasi ini akan menjadi lebih efektif ketimbang sosialisasi atau menanyakan aspirasi tanpa memberi masyarakat ruang untuk aktif mengkritisi kebijakan yang hendak dibentuk. 

Jika ini akan dilakukan dalam tingkat regional, tepatnya DPRD, maka dapat saja dilakukan penyeleksian anggota masyarakat yang secara terukur akan mengalami dampak dari diberlakukannya suatu Perda, baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Anggota masyarakat tidak hanya diundang sebagai tamu forum untuk menyampaikan pendapat saja, namun dihitung sebagai peserta forum yang akan memengaruhi hasil pertemuan pada saat itu, sehingga masukan mereka tidak akan sia-sia karena wajib diselenggarakan secara beralasan, resiprokal, dapat diakses, dan hasil akhir tetap dapat dipersoalkan di kemudian hari.

Konsep yang elusif ini belum cukup dideskripsikan dengan opini pada tulisan ini, masih membutuhkan kajian mendalam untuk pengadopsiannya dan kerelaan pejabat politik untuk memberlakukan hal tersebut dalam proses politik hukum. Walaupun demikian, demokrasi deliberatif dapat menjadi solusi yang bagus untuk demokrasi konstitusional yang responsif karena mampu memenuhi hak politik warga negara secara maksimal dan kebijakan yang diambil dapat sesuai dengan keinginan masyarakat apa adanya. Untuk permulaan, proses ini dapat dilakukan pada tingkatan Kabupaten/Kota terlebih dahulu, sehingga dapat membantu pelaksanaan kebijakan daerah yang langsung memberi dampak pada masyarakat setempat agar kebijakan lebih responsif dan inklusif.

DAFTAR PUSTAKA

  • Dewansyah, Bilal, “Model Kampanye Deliberatif dalam Desain Pilkada Serentak: Sebuah Gagasan Perubahan”, Jurnal Rechtsvinding BPHN Volume 4 Nomor 1, 2015.
  • Gutmann, Amy dan Dennis F. Thompson, Why Deliberative Democracy?, New Jersey: Princeton University Press, 2004.
  • Haliim, Wimmy, “Demokrasi Deliberatif Indonesia: Konsep Partisipasi Masyarakat dalam Membentuk Demokrasi dan Hukum yang Responsif”, Jurnal Masyarakat Indonesia Volume 42 Nomor 1, 2016.

()