Oleh: Bagas Wahyu Nursanto
(Internship Advokat Konstitusi)
Paradigma Presidensialisme Multipartai
Dalam praktiknya Indonesia memberlakukan sistem kepartaian multipartai dalam sistem presidensial yang diberlakukannya. Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta No X/1949 merupakan tonggak dilaksanakannya sistem multipartai di Indonesia. Keputusan Wapres ini juga ditujukan untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu yang pertama pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen (perseorangan) (Partono, 2008:16). Dalam perkembangan selanjutnya nyatanya sistem multipartai ini terus bertahan hingga saat ini.
Padahal, dalam beberapa penelitian antara sistem pemerintahan presidensial dan sistem kepartaian multipartai sulit untuk digabungkan. Menurut Scott Mainwaring hal ini karena kombinasi antara sistem partai yang fraksional dan presidensialisme tidak mendukung stabilitas demokrasi karena dengan mudah menciptakan kesulitan dalam hubungan antara presiden dan kongres. Agar efektif pemerintah harus mampu mendorong langkah- langkah kebijakan namun akan menjadi sulit ketika eksekutif menghadapi oposisi mayoritas yang cukup besar di lembaga legislatif (Lijphart, 1992:114). Bahkan menurut Mainwaring hanya empat negara yang menerapkan sistem presidensialisme yang berhasil dalam menciptakan pemerintah yang efektif dan stabil. Keempat negara tersebut adalah Amerika Serikat, Costa Rica, Columbia, dan Venezuela.
Paradigma ini didukung pula oleh pandangan Saiful Mujani yang menyatakan sistem multipartai dan sistem presidensial adalah kombinasi yang sulit untuk sebuah pemerintahan yang demokratis. Kesulitan ini bukan saja terletak pada masalah tidak mudahnya mencapai konsensus antara presiden dan lembaga legislatif, tetapi juga kekuatan-kekuatan di lembaga legislatif (Mujani, 2002:10-11). Kekuatan- kekuatan tersebut sebenarnya merupakan implikasi kesetaraan yang dihasilkan melalui Pemilu.
Pandangan selanjutnya juga menekankan hal yang sama, seperti misalnya Juan J Linz yang memunculkan paradigm yang disebut “The Linzian view”, dimana dalam paradigm ini penerapan sistem presidensialisme multipartai bukan kombinasi yang cocok karena akhirnya akan berujung pada apa yang disebutnya “breakdown of democratic regime”.
Berkaitan dengan ini praktik multipartai dalam sistem pemerintahan presidensial yang memiliki problematika tersendiri tersebut diselesaikan dengan beberapa cara, salah satunya melalui mekanisme koalisi yang dilakukan Presiden dengan sejumlah partai politik. Dalam keadaan tertentu misalnya dimana pemerintahan yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas partai politik di parlemen akan lebih umum menggunakan mekanisme koalisi. Jose Antonio Cheibub menyatakan bahwa Presiden yang tidak mengontrol kekuatan mayoritas di lembaga legislatif akan melakukan langkah seperti lazimnya yang dilakukan pemenang minoritas pemilihan umum dalam sistem parlementer yakni melakukan koalisi dengan sejumlah partai politik dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan mayoritas di lembaga legislatif (Saldi, 2019:207).
Lebih lanjut, dalam sistem pemerintahan presidensil cara paling umum yang dilakukan presiden adalah dengan memberikan posisi menteri- menteri dalam kabinetnya kepada partai politik yang memberikan dukungan kepada presiden di lembaga legislatif. Dengan demikian muncullah gambaran bahwa presiden “membagi kekuasaan” dengan semua partai politik yang cenderung mendukung pemerintah (Saldi, 2019:208). Lebih jauh, apakah pandangan teoritis tersebut juga berlaku di Indonesia, perlu dikaji secara holistik untuk memahami bagaimana presidensialisme multipartai di Indonesia.
Koalisi sebagai jalan Presidensialisme Multipartai di Indonesia
Sebagaimana munculnya Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta No X/1949 yang menjadi awal dilaksanakannya sistem multipartai di Indonesia dan tetap berlaku hingga saat ini perlu dikaji secara holistik. Paradigma presidensialisme multipartai yang telah dipaparkan di atas menarik untuk dikorelasikan dengan perkembangan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia, misalnya dalam periode Presiden Abdurrahman Wahid pada sejak Oktober 1999 hingga pasca perubahan UUD 1945 yang secara tegas mempertahankan sistem pemerintahan presidensial.
Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 yang menjadi Pemilu pertama di era reformasi telah mempraktekkan bentuk “pembagian kekuasaan” yang terbentuk dalam wadah koalisi Poros Tengah. Koalisi Poros Tengah ini berhasil mengusung Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan Amien Rais sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selanjutnya setelah amandemen UUD 1945 model koalisi sebagai jalan presidensialisme multipartai di Indonesia terus berlangsung. Selanjutnya Megawati-Hasyim Muzadi yang terpilih menjadi Presiden dan wakil presiden selanjutnya membentuk koalisi kebangsaan didukung hampir 55% partai yang memperoleh kursi di parlemen.
Pada Pemilu 2004 dimana SBY-JK terpilih secara mayoritas lebih dari 60% pada putaran kedua, namun basis dukungan politik nya di parlemen rendah. Koalisi Kerakyatan yang dibangun pun hanya didukung oleh partai yang memiliki pemilu legislatif 2004 sekitar 38%. Dalam kondisi ini terjadi apa yang disebut Jose Antonio Cheibub sebagai minority government Karena dukungan minoritas parlemen terhadap pemerintah. Untuk itu SBY- JK merangkul beberapa Parpol untuk bergabung dengan koalisinya seperti PKS, PPP, PAN, PKB, dan Golkar. Selanjutnya paradigm presidensialisme multipartai seperti yang diidekan Jose Antonio Cheibub terjadi, yakni Presiden SBY membagi jabatan menteri kepada sejumlah partai politik yang menjadi bagian dari koalisi SBY-JK. Namun hal ini tidaklah menjamin setiap kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan parlemen.
Hal unik terjadi di tahun 2014 manakala koalisi sudah terbentuk sebelum hasil pemilihan umum terjadi. Menghadapi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2014 partai politik peserta Pemilu anggota legislatif 2014 terbelah atas dua kelompok koalisi yakni koalisi Indonesia Hebat (KIH) di kubu Jokowi- JK sebagai Capres dan Cawapres yang tergabung dalam lima parpol (PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI dengan kursi di DPR 36,46%) dan Koalisi Merah Putih (KMP) di kubu Prabowo-Hatta sebagai Capres dan Cawapres yang tergabung dalam tujuh parpol (Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PBB, dan PPP dengan kursi di DPR 63,54%). Hasil Pemilu 2014 dimenangkan Jokowi-JK yang kemudian merubah konstelasi politik koalisi partai politik yang ada.
Hal ini ditandai dengan bergabungnya beberapa parpol dari KMP kepada KIH seperti PPP pada Oktober 2014, kemudian PAN, hingga Golkar di bulan Januari 2016. Perkembangan selanjutnya pasca pemilu 2019 memunculkan hal menarik baru dimana hampir seluruh Parpol bergabung dengan pemerintahan Koalisi pendukung Jokowi. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemilu legislatif 2019 dimana koalisi partai politik pendukung pemerintah terdiri dari PDIP, Golkar, NasDem, PKB, PPP, Gerindra, dan Demokrat dengan jumlah kursi pro-Jokowi akan menjadi 481 kursi atau 84 persen kursi DPR. Sementara jumlah kursi tersisa yang dimiliki PKS dan PAN hanya 94 kursi atau 16 persen kursi DPR (detikNews, 2019), banyak pihak menyebut koalisi ini sebagai koalisi gemuk.
Sekalipun terdapat dinamika tarik ulur antara Presiden partai Politik di DPR dan dalam banyak kejadian juga dengan partai dalam barisan koalisi, persoalan presiden dengan dukungan minoritas di lembaga legislatif tidak membuat dampak terhadap sistem politik di Indonesia. Presidensialisme multipartai di Indonesia tidak pernah terperosok pada kebuntuan atau kemandegan (deadlock) relasi legislatif-eksekutif. Pengalaman Indonesia dalam presidensialisme multipartai menemukan “jalan sendiri” untuk mengatasi keadaan tidak seperti kebanyakan sistem presidensialisme multipartai seperti di Amerika Latin dalam dua dekade terakhir. Bahkan, Indonesia tidak pernah mengalami kejadian penyelenggaraan pemerintahan berhenti mendadak (Hanan, 2014:367-368).
Menurut penulis keberagaman multi partai di Indonesia haruslah dipahami sebagai sebuah dinamika ketatanegaraan yang dilindungi hak konstitusionalitas dalam Negara hukum. Selain itu kehadiran multipartai dalam bingkai presidensialisme di Indonesia merupakan konsekuensi dari Negara yang plural dan budaya politik yang beragam. Namun, hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran akan jalannya konsolidasi demokrasi pasca reformasi. Salah satu cara mengatasi hal tersebut adalah dengan membuat ketentuan mengenai ambang batas partai politik yang dapat menjadi peserta Pemilu (electoral threshold) serta ambang batas partai politik yang dapat duduk di kursi parlemen (parliamentary threshold). Tidak kalah pentingnya pula menegaskan jumlah batas minimal suara atau kursi DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Referensi
Arend Lijphart, Parliamentary Versus Presidential Government, Oford University Press, Oxford, 1992.
Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia, Mizan, Jakarta, 2014.
Juan Linz, The Breakdown Democratic Regime; Crisis, Breakdown and Reequilibrium, Baltimore: John Hopkins, university Press, 1978.
Partono, Sistem Multipartai, Presidensial Dan Persoalan Efektivitas Pemerintah, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 5 No. 1, Maret 2008.
Saldi Isra, Sistem Pemeritahan Indonesia: Pergulatan Ketatanegaraan Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial, Rajawali Pers, Depok, 2019.
Saiful Mujani, Jadikan Presiden hanya Sebagai Kepala Negara dalam Gerak Politik yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, The Center for Presidential and Parliamentary Studies, Jakarta, 2002.
DetikNews, Begini Peta Kekuatan DPR 2019-2024, Koalisi Jokowi Dominan, https://news.detik.com/berita/d-4728867/begini-peta-kekuatan-dpr-2019-2024-koalisi-jokowi-dominan
()