Implikasi Polemik Femisida Bagi Perempuan

Oleh: Wahlulia Amri

Peringatan kampanye 16 HAKtP (Hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan) pada 25 November 2022 lalu diselenggarakan oleh Sekjen PBB dan UN Women ini berakhir pada 10 Desember, Hari HAM Internasional atau peringatan Deklarasi Universal HAM yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Di Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menggunakan dinamika ini untuk menyoroti bentuk ekstrem kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan dikenal sebagai femisida (femicide). Femisida diartikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan sebab mereka adalah seorang perempuan. Femisida biasanya dilakukan oleh kerabat yang berada di lingkungan terdekat korban, yaitu. dari pasangan atau keluarga dekat. 

Komnas Perempuan telah berusaha mengumpulkan informasi tentang pembunuhan perempuan selama dua tahun terakhir. Temuan terbarunya, sebuah laporan berjudul Vanishing in Silence:Korban dan Keluarga Femicide Punya Hak atas Keadilan (2022), diterbitkan bersamaan dengan Kampanye 16 Hari. Isinya mengkaji kompleksitas femicide, termasuk kajian literatur undang-undang di berbagai negara dan rekomendasi kebijakan di Indonesia. Penyelamatan keluarga korban dan pengumpulan informasi tentang kasus Indonesia juga dibahas. Ada hal-hal khusus di balik kegiatan femisida. Sebagaimana dijelaskan dalam dokumen Komnas Perempuan, femicide didorong oleh superioritas (pengetahuan tentang atasan), dominasi, hegemoni, agresi, misogini (persepsi bahwa perempuan pantas untuk ditindas), rasa memiliki atau kepemilikan, relasi kuasa yang timpang, dan gratifikasi sadis.

Berbagai faktor inilah yang menjadi dasar kemajuan perempuan korban pembunuhan, yang terakhir adalah dimana Sarah menjadi korban pernikahan kontrak Cianjur. Sarah meninggal setelah suaminya yang berkebangsaan Arab menyiram air keras terhadapnya. Sarah meninggal karena serangan karena suaminya kembali karena cemburu. Sarah dan Abdul Latif menikah dengan kontrak 1,5 bulan. Namun, sangat disayangkan perjodohan Sarah berakhir dengan tragedi. Atas perbuatannya Abdul Latif dijerat dengan beberapa pasal, yakni Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan Pasal 338 dan 351 KUHP terkait penganiayaan yang mengakibatkan kematian korban. (kompas.com

Apabila melihat kasus yang terjadi pada Sarah namun sebenarnya ada banyak bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak menyebabkan kematian. Maraknya insiden kekerasan menyebabkan kematian perempuan, sudah sepantasnya pemerintah mengambil tindakan. Sikap terhadap masalah ini dapat menyebabkan peningkatan kejahatan beberapa faktor, antara lain tidak efektifnya sanksi yang dijatuhkan. Sejauh ini sanksi dikenakan untuk serangan yang mengakibatkan kematian seorang wanita sanksi umum dalam KUHP.

 

Keberadaan Hukum Femisida di Indonesia

Kehidupan seorang wanita yang meninggal karena pembunuhan itu tidak masalah perempuan saja, tetapi lebih banyak perhatian harus diberikan untuk ini di semua lapisan masyarakat, tidak hanya di pemerintahan. Dalam hal ini, lingkungan juga harus bisa mengenali jika ada korban yang membutuhkan bantuan tidak mengabaikan masalah begitu saja. Biasanya, masyarakat tidak menyadarinya sampai hal itu terjadi. (Faqihuddin Abdul Kadir: 2019) Adanya peraturan pembunuhan nampaknya tidak memberikan efek jera bagi pelakunya, sehingga masih banyak kasus baru yang muncul. 

Dalam konteks pelanggaran HAM terhadap perempuan, femisida bisa menjadi alat untuk menuntut kewajiban dari negara. Hal ini merujuk pada kewajiban negara untuk melindungi dan upaya mendiskriminasikan perempuan dalam segala bentuknya. Dalam literatur Inggris, tujuan pidana disingkat menjadi 3R: Reformation, Restraint, dan Retribution, sedangkan 1D: Deterrence terbagi atas individual deterrence dan general deterrence. Dari tujuan pidana yang disebutkan di atas, justru menawarkan keuntungan masyarakat ketika kejahatan dapat dicegah bersifat jera berarti menakut-nakuti seseorang atau mencegah mereka sebagai individu atau bahkan orang lain yang memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan tersebut. (Andi Hamzah: 2017)

Terkini, Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 terkait Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi untuk mencegah kekerasan seksual. Terdapat forum dimana perempuan bisa mendapatkan perlindungan.(kompas.com)  Namun, apakah sanksi tersebut sudah sesuai? Memang jika melihat beberapa pasal yang ada, terdapat kontroversi mengenai aspek pencegahan dan pengobatan korban, seperti pada Pasal 5 yang memuat kata “tanpa persetujuan korban”, nampaknya kekerasan ini dapat diukur berdasarkan persetujuan. Dengan hukuman ini, pelaku dapat melindungi dirinya dengan persetujuan korban. Untuk melindungi perempuan dari femisida, selain instrumen hukum khusus, perempuan juga harus memiliki akses ke layanan pengaduan yang menanggapi pengaduan mereka.

Penegakan Anti-Femisida di Dunia

Pengakuan Femisida di seluruh dunia sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang meluas dan persisten. Tidak ada negara yang bebas dari segala bentuk kekerasan Ini. Oleh karena itu, beberapa negara mensyaratkan femisida sebagai hukuman khusus untuk mencegah bertambahnya korban pembunuhan perempuan.Pendirian Canada Femicides Observatory di Kanada untuk menanggapi panggilan terutama dari PBB sebagai wadah HAM untuk negara-negara yang melaporkan secara khususnya tentang kekerasan terhadap perempuan untuk dikumpulkan, Analisis dan review data femisida untuk tujuan pencegahan.

Pembunuhan demi kehormatan perempuan adalah hal biasa di Palestina terjadi (García-Del Moral: 2018) Di saat perempuan Palestina dihadapkan kejahatan pendudukan Zionis, termasuk pembunuhan, penangkapan, Pemukiman, perang, dan penghancuran rumah terbunuh Seorang suami menikam istrinya. Khweira yang menjadi korban pembunuhan suaminya karena ketidaksetaraan gender suaminya Rabee. Rabee menggunakan kekerasan melawan Kheira selama 12 tahun pernikahan mereka. Kasus Khweira bukanlah yang pertama Ada banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berakhir Kematian membutuhkan perangkat hukum untuk mencegahnya jumlah femisida.

Untuk mengatasi kendala tersebut, UNODC dan UN Women menerbitkan dokumen kerangka kerja statistik beberapa bulan lalu. Konten mencakup identifikasi berbagai tipologi (pengelompokan) kasus femisida, termasuk variabel untuk mendefinisikannya. Selain itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, kali ini dalam kampanye 16 hari, meminta pemerintah di seluruh dunia untuk meningkatkan anggaran mereka untuk organisasi perempuan dan berbagai gerakan hak-hak perempuan sebesar 50% selama empat tahun ke depan. Kedua kelompok ini seringkali berada di garis depan dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan dan membantu pemulihan korban.

Sampai saat ini, pemerintah dan masyarakat belum menganggap jaminan keselamatan perempuan sebagai isu krusial dan penting. Buktinya, masih banyak masyarakat yang menganut budaya patriarki dan dengan tegas menafikan adanya hak milik bagi perempuan.Hal itu tentu sangat disayangkan. Pasalnya, dalam Sustainable Development Goals (SDGs) sendiri, memastikan hak dan keamanan kesetaraan gender merupakan salah satu tujuan dan sasaran utama. 

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus berpartisipasi aktif dalam mewujudkan hal tersebut. Selain fakta bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah menjadi langkah maju dalam memerangi fenomena ini, pemerintah harus terus meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya femicide. Dengan menggalakkan kampanye pencegahan kejahatan terhadap perempuan dan memperkuat pengawasan, penyaringan dan hukum, Indonesia dapat menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi perempuan.

  ()