Jerat Hukum Bagi Ormas Khilafatul Muslimin

oleh : Muhammad Ridwan Jogi

(Internship Advokat Konstitusi)

Kebebasan berpendapat dan berserikat merupakan salah satu pemenuhan hak bagi rakyat di alam demokrasi. Siapapun dapat berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat di muka umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) UUD NRI tahun 1945. Dalam menjalankan hak konstitusional tersebut berimplikasi sedikit banyaknya terjadi irisan kepentingan dengan hak orang lain bahkan publik dalam hal hak atas rasa aman. Negara memiliki kewajiban untuk mengatur bagaimana hak konstitusional tersebut dapat terlaksana. Selain itu, negara juga berkewajiban agar hak konstitusional tersebut tidak melanggar hak orang lain.

Beberapa waktu lalu, masyarakat di Indonesia dikejutkan dengan adanya aksi konvoi bermotor yang dilakukan oleh Ormas Khilafatul Muslimin untuk menyebarkan “Syiar Khilafah” di kawasan Cawang, Jakarta Timur pada 29 Mei 2022. Hal tersebut dilakukan untuk mengajak masyarakat menegakkan sistem pemerintahan Khilafah atau dengan kata lain mengganti ideologi Pancasila. Aksi konvoi tersebut, dilakukan juga di wilayah Brebes dan Klaten, Jawa Tengah pada kurun waktu tahun 2022. 

Selain itu, Khilafatul Muslimin juga melakukan “Syiar Khilafah” melalui media cetak dan online. Khilafatul Muslimin diduga mengusung gagasan pemerintahan Khilafah untuk mengubah Pancasila sebagai ideologi Indonesia yang dilakukan melalui situs atau website online dan buletin yang dimilikinya. Tujuannya untuk mewujudkan kemakmuran bumi dan kesejahteraan umat.

Atas hal tersebut, pihak Kepolisian Republik Indonesia mengambil upaya hukum represif terhadap pimpinan Khilafatul Muslimin. Abdul Qadir Hasan Baraja selaku pemimpin Ormas Khilafatul Muslimin, pada 7 Juni 2022 ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Abdul Qadir Hasan Baraja disangkakan melanggar Pasal 59 ayat (4) juncto Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Ancaman pidana yang dikenakan kepada tersangka, minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun penjara. Selain itu, Ormas Khilafatul Muslimin dapat dikenakan juga sanksi administratif berdasarkan UU Organisasi Kemasyarakatan.

Menilik terhadap kasus tersebut, Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana dimuat dalam konstitusi mesti melandaskan penegakkan hukum pada asas legalitas. Hal ini dimaksudkan untuk terjaminnya kepastian hukum kepada seseorang atau organisasi yang disangkakan melanggar hukum positif di Indonesia, terlebih lagi yang menyangkut kebebasan berpendapat dan berserikat. Kebebasan berpendapat dan berserikat merupakan hak konstitusional yang dimiliki oleh setiap orang. Namun, dalam menjalankan hak tersebut mesti menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu, wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J UUD NRI tahun 1945.

Dalam hal ini, setidaknya pembatasan terhadap hal berserikat dan mengeluarkan pendapat telah diatur dalam UU Organisasi Kemasyarakatan. Dalam hal ini diatur bagaimana pendirian Ormas, hal-hal yang dilarang untuk dilakukan bahkan mekanisme pembubaran Ormas. Selanjutnya, kebebasan berpendapat juga terdapat pembatasan yang diatur dalam KUHP, UU ITE dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk terjaga keteraturan dalam mengutarakan pendapat tidak merugikan atau melanggar hak orang lain. Sehingga hal tersebut dapat memberikan keseimbangan Indonesia sebagai negara demokrasi, sekaligus nomokrasi.

Ormas yang melakukan perbuatan menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan status badan hukum atau dibubarkan. Selain itu, dapat dikenakan juga sanksi pidana bagi anggota maupun pengurus Ormas tersebut sebagaimana diatur dalam UU Organisasi Kemasyarakatan. Menjadi hal yang problematis adalah bagaimana aparat penegak hukum dapat menerapkan sanksi pidana bagi semua anggota maupun pengurus Ormas yang disangkakan melanggar UU Organisasi Kemasyarakatan. Mengingat anggota dan pengurus Khilafatul Muslimin diperkirakan berjumlah kurang lebih puluhan ribu yang tersebar di berbagai Provinsi di Indonesia.

Selanjutnya, penerapan sanksi administratif yang terberat berupa pencabutan status badan hukum atau dibubarkan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah. Bahkan, pencabutan status badan hukum tersebut dapat dilakukan tanpa melalui proses badan yudikatif. Hal ini juga berpotensi menimbulkan ketidakberimbangan atau ketidakadilan dalam hal pemerintah mengeluarkan sanksi administratif tersebut. Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang hati-hati bagi pemerintah termasuk juga aparat penegak hukum dalam menerapkan UU Organisasi Kemasyarakatan maupun delik terhadap kebebasan berpendapat. Hal ini dimaksudkan untuk tidak membungkam secara sembrono terhadap hak atas kebebasan berpendapat dan berserikat yang dijamin oleh konstitusi.  ()